Oleh: Aby Elfarsyi
Ijazah ibarat tiket bagi siswa untuk melanjutkan perjalanan hidup mereka—entah ke jenjang pendidikan lebih tinggi atau ke dunia kerja. Namun, bagi sebagian lulusan, tiket itu tidak pernah sampai ke tangan mereka. Alasannya? Tunggakan administrasi di sekolah.
Fenomena penahanan ijazah bukan hal baru. Dari tahun ke tahun, kasus serupa terus muncul di berbagai daerah, seolah menjadi bahaya laten yang tak kunjung tuntas. Larangan sudah ada, regulasi telah diterbitkan, namun praktik ini masih kerap terjadi, bahkan di sekolah-sekolah negeri yang semestinya menjamin pendidikan gratis bagi siswanya.
Antara Regulasi dan Realita
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) sudah menegaskan bahwa penahanan ijazah bertentangan dengan hak dasar siswa. Namun, sekolah sering kali beralasan bahwa dana operasional mereka terbatas, sementara biaya komite yang seharusnya sukarela justru menjadi beban yang wajib dibayar.
Ketika ditanya soal kebijakan ini, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Lampung yang baru, Thomas Americo, menegaskan bahwa pihaknya akan berupaya memastikan tidak ada lagi penahanan ijazah di sekolah-sekolah di Lampung. “Kami akan memperketat pengawasan dan menindak sekolah yang melanggar aturan,” ujarnya.
Namun, bagaimana kenyataannya di lapangan?
Potret Siswa yang Terdampak
Aldi (bukan nama sebenarnya), seorang lulusan SMA di Lampung, masih belum bisa melamar pekerjaan karena ijazahnya tertahan di sekolah. “Saya sudah coba nego, tapi tetap disuruh bayar Rp1,5 juta dulu baru bisa ambil,” katanya. Ia berasal dari keluarga kurang mampu, di mana penghasilan orang tuanya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Cerita Aldi bukan satu-satunya. Banyak siswa lain mengalami hal serupa, bahkan ada yang terpaksa menggadaikan barang berharga atau bekerja serabutan untuk menebus dokumen penting itu.
Solusi yang Masih Abu-abu
Pemerintah pusat maupun daerah sebenarnya telah menyediakan program bantuan pendidikan seperti KIP (Kartu Indonesia Pintar) dan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masih ada celah dalam distribusi dan pengawasan.
Beberapa sekolah berdalih bahwa dana BOS tidak mencukupi, sementara iuran komite yang seharusnya bersifat sukarela malah menjadi syarat mutlak untuk mendapatkan ijazah.
Harapan untuk Perubahan
Menahan ijazah bukan hanya soal administrasi, tetapi juga menyangkut masa depan siswa. Jika masalah ini tidak segera ditangani dengan serius, maka generasi muda yang seharusnya bisa berkembang justru akan terhambat oleh sistem yang semestinya melindungi mereka.
Kini, bola ada di tangan pemerintah dan masyarakat. Sekolah harus lebih transparan dalam pengelolaan keuangan, sementara pengawasan dari dinas pendidikan harus lebih ketat. Jika tidak, fenomena ini akan terus berulang, menjadi bahaya laten yang merugikan masa depan banyak siswa. (Red)








