PRINGSEWU, Jelajah.co — Kontroversi mencuat di SMA Negeri 1 Pringsewu, sekolah negeri unggulan di Kabupaten Pringsewu, setelah seorang siswa kelas XII berinisial Mic (17) dikeluarkan dengan alasan akademik. Keputusan ini memicu sorotan publik karena keluarga menuding pihak sekolah melakukan “rekayasa hukum” untuk menghindari tanggung jawab, sehingga menimbulkan perdebatan mengenai etika pendidikan dan perlindungan hak anak.
Kronologi bermula pada 2 Agustus 2025, ketika pihak sekolah memanggil orang tua Mic. “Sekolah menyatakan tidak sanggup lagi mendidik Michael karena ketertinggalan pelajaran. Kami menerima keputusan itu dan memutuskan memindahkan Michael ke SMA Xaverius Pringsewu. Sekolah swasta tersebut menerima tanpa mempermasalahkan status anak saya,” ujar ayah Mic, Andre.
Namun, ketegangan meningkat ketika pada 8 Agustus 2025, saat keluarga meminta surat resmi keterangan dikeluarkan, pihak sekolah justru meminta wali siswa menandatangani surat pernyataan menarik anak secara sukarela. Keluarga menilai langkah itu sebagai upaya “cuci tangan” institusi pendidikan.
“Kami menyayangkan, sekolah yang dibiayai uang pajak malah mengajarkan hal yang tidak patut. Mengeluarkan siswa mungkin bisa dilakukan jika ada alasan kuat, tapi memaksa orang tua membuat surat seolah menarik anak, itu tidak pantas,” tegas R. Andi Wijaya, kakak Mic.
Ia menambahkan bahwa adiknya adalah siswa yang aktif di ekstrakurikuler basket dan pernah membawa tim sekolah juara di tingkat provinsi. Menurutnya, kesibukan latihan dan pertandingan membuat Mic tertinggal dalam pelajaran, namun, “Anak ini tidak pernah terlibat narkoba, tawuran, bullying, atau kriminal lainnya. Ini murni soal akademik,” ujarnya menegaskan.
Ketegangan bertambah ketika keluarga hendak mengambil tas dan buku pelajaran Mic. Barang-barang itu sempat ditahan guru hingga akhirnya dikembalikan pada 12 Agustus 2025. Keluarga menilai tindakan tersebut menghalangi hak anak memperoleh pendidikan dan memperburuk situasi yang sudah panas.
Di sisi lain, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Thomas Amirico, menyampaikan klarifikasi pihak sekolah. Ia menyebut proses pembinaan telah dilakukan sejak Mic duduk di kelas XI. “Pemanggilan orang tua, pembuatan perjanjian, hingga keputusan manajemen sudah ditempuh. Tidak ada perubahan signifikan dari siswa,” tulisnya dalam pesan yang diteruskan ke media. Semenetara pihak sekolah menegaskan bahwa standar akademik harus dijaga dan mayoritas siswa tetap berprestasi sambil mengikuti pembelajaran.
Pernyataan itu mendapat kritik dari berbagai pihak. Pengamat pendidikan, Hengki Irawan, menilai sekolah negeri seharusnya memberikan pembinaan intensif, bukan sekadar mengeluarkan siswa. Sementara pengacara publik pendidikan, Ganto Almansyah, mengkritik kebiasaan sekolah membuat surat pernyataan atau perjanjian yang ditandatangani siswa. “Surat semacam itu tidak memiliki kekuatan hukum jika dibuat oleh anak-anak, dan menunjukkan lemahnya pemahaman terhadap UU Perlindungan Anak dan UU Pendidikan Nasional,” ujarnya.
Kasus ini menyingkap persoalan yang lebih luas, mulai dari minimnya regulasi yang melindungi siswa dari pemberhentian sepihak di sekolah negeri, lemahnya pengawasan terhadap praktik administrasi yang rawan disalahgunakan, hingga potensi pelanggaran hak pendidikan yang dijamin konstitusi. Hingga berita ini diturunkan, pihak SMA Negeri 1 Pringsewu belum memberikan penjelasan detail terkait alasan permintaan surat penarikan siswa secara sukarela, sementara opini publik terus menguat menuntut transparansi. (Red)








