Bandar Lampung – Ibarat roda kendaraan yang terus berputar, kesehatan adalah bahan bakar utamanya. Tanpa kesehatan, roda kehidupan melambat, bahkan bisa berhenti sama sekali. Di Provinsi Lampung, roda itu sering kali tersendat oleh kurangnya fasilitas medis, akses yang sulit, dan minimnya tenaga kesehatan. Di balik mimpi besar untuk hidup sehat, banyak masyarakat Lampung yang masih bergelut dengan berbagai tantangan kesehatan yang serasa tak berujung.
Di pelosok Lampung, perjalanan menuju fasilitas kesehatan bisa diibaratkan seperti mendaki gunung yang tinggi tanpa persiapan. Bayangkan seorang ibu yang harus membawa anaknya yang demam tinggi ke puskesmas. Perjalanannya tidak hanya menguras fisik, tapi juga emosi. Banyak desa di Lampung yang jauh dari rumah sakit, dengan akses jalan yang rusak, berlumpur saat hujan, dan minim transportasi. Di saat darurat, perjalanan ini bisa berarti perbedaan antara hidup dan mati.
“Puskesmas di desa kami tidak memiliki peralatan lengkap, jadi kalau ada yang sakit parah, kami harus ke kota,” ungkap Siti, seorang warga di Kabupaten Mesuji, yang kerap kali harus menempuh perjalanan lebih dari dua jam untuk mendapatkan layanan medis memadai. “Tapi jalan rusak, mobil susah masuk,” tambahnya.
Fasilitas kesehatan yang ada di daerah pedalaman Lampung banyak yang menyerupai cangkang kosong. Bangunannya berdiri, tapi isinya minim. Banyak puskesmas yang tidak memiliki alat medis yang cukup atau bahkan kehabisan obat-obatan dasar. Di beberapa tempat, listrik dan air bersih pun sering menjadi barang langka, sehingga membuat pelayanan medis sangat terbatas.
Tak hanya soal fasilitas, permasalahan tenaga kesehatan juga menjadi momok tersendiri. Bayangkan sebuah kapal yang besar, namun hanya dikemudikan oleh satu orang. Di beberapa puskesmas, jumlah tenaga medis begitu terbatas sehingga satu atau dua dokter harus melayani ratusan pasien. Tidak jarang, mereka kelelahan dan tidak bisa memberikan pelayanan optimal. Ini seakan seperti tambal sulam, di mana masalah satu tertutup, namun masalah lain muncul.
“Dokter di sini hanya ada satu. Kadang beliau juga ke luar kota, jadi kami harus menunggu. Kalau darurat, ya, terpaksa ke rumah sakit besar,” cerita Bambang, seorang warga dari Kecamatan Bukit Kemuning.
Masalah kesehatan di Lampung tidak berhenti di sana. Penyakit menular seperti demam berdarah, malaria, dan infeksi pernapasan menjadi tamu yang tak diundang, terutama selama musim hujan. Layaknya api yang membakar rumput kering, penyakit ini mudah menyebar, terutama di wilayah dengan sanitasi buruk. Banyak daerah di Lampung yang belum memiliki akses ke air bersih dan sanitasi layak, membuat penyebaran penyakit menjadi lebih cepat dan sulit dikendalikan.
Namun, di balik segala tantangan ini, ada cahaya harapan. Seperti embun di pagi hari yang menyejukkan setelah malam yang gelap, berbagai inisiatif mulai muncul. Program-program dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan sektor swasta berusaha menambal celah-celah yang belum tersentuh pemerintah. Layanan kesehatan gratis ke pelosok desa dan pelatihan untuk kader kesehatan masyarakat sedikit demi sedikit mulai memperbaiki kondisi ini.
Namun tetap saja, jalan menuju kesehatan yang lebih baik di Lampung masih panjang. Seperti mengarungi lautan luas, dibutuhkan nakhoda yang handal dan strategi yang matang. Pemerintah provinsi perlu lebih serius dalam memperbaiki sistem kesehatan ini, mulai dari penambahan fasilitas, distribusi tenaga medis yang merata, hingga edukasi kesehatan yang lebih intensif kepada masyarakat.
Masyarakat Lampung berharap, dengan adanya perubahan nyata, mimpi tentang kesehatan yang lebih baik tidak lagi hanya seperti pelangi di kejauhan – indah tapi tak tergapai. Mimpi itu bisa diwujudkan dengan komitmen, kerja sama, dan usaha bersama, agar setiap warga Lampung bisa merasakan hak mereka atas pelayanan kesehatan yang layak. (Aby)