TULANG BAWANG BARAT – Dalam era digital serba cepat, di mana transaksi miliaran bisa terjadi dalam satu klik, para petani singkong di Tulang Bawang Tengah justru menghadapi kenyataan pahit yang terasa seperti layar ponsel yang retak—mereka tetap terjebak di pusaran masalah klasik: harga jual rendah dan permainan angka pada kadar air.
Senin (09/12/2024), di bawah langit mendung, puluhan petani singkong berkumpul di depan PT. Budi Starch & Sweetener Tbk. Penumangan. Tuntutan mereka sederhana, tetapi menyimpan ironi besar: menaikkan harga singkong, memperbaiki timbangan, dan mengurangi potongan kadar air. Seolah-olah, petani-petani ini adalah pemain game tanpa cheat code, terjebak dalam level yang tak kunjung selesai.
Harga singkong di Tulang Bawang Barat saat ini sedang mengalami penurunan yang signifikan. Berdasarkan laporan, perusahaan membeli singkong dengan harga sekitar Rp1.200 per kilogram. Namun, dengan potongan kadar air (rafaksi) yang mencapai 26-28 persen, petani hanya menerima sekitar Rp840 per kilogram. Setelah dipotong biaya tambahan seperti ongkos cabut dan transportasi, pendapatan bersih petani bahkan lebih rendah, yaitu sekitar Rp670 per kilogram.
Kondisi ini menjadi beban berat bagi petani, terutama karena biaya produksi singkong, termasuk pupuk non-subsidi, cukup tinggi. Misalnya, pupuk Mutiara mencapai Rp900 ribu per sak (50 kg) dan Phonska sekitar Rp600 ribu per sak. Untuk satu hektar, petani memerlukan 3-5 kuintal pupuk, yang semakin memperberat modal tanam mereka.
“Dengan harga seperti ini, jangankan untung, untuk balik modal saja sulit,” ujar Naswan, salah satu petani. Harga ideal yang diharapkan petani adalah Rp1.500 per kilogram, agar setidaknya mereka bisa mendapatkan pendapatan bersih sekitar Rp1.000 per kilogram. Dengan kondisi harga seperti saat ini, banyak petani merasa tidak mampu menutup biaya produksi, sehingga mereka mendesak pemerintah untuk mencari solusi.
**Timbangan Analog di Era Digital**
Di masa ketika e-wallet bisa menghitung hingga pecahan terkecil tanpa cela, para petani justru berhadapan dengan timbangan yang terasa seperti mesin arcade usang. “Kami butuh timbangan digital yang adil, bukan permainan angka yang merugikan kami,” keluh seorang petani.
**Pertarungan Mikro dan Makro**
Bayangkan dunia di mana startup unicorn bisa memutar ekonomi dengan ide sederhana, tetapi petani singkong harus berteriak keras hanya untuk kenaikan beberapa rupiah per kilogram. Di sinilah keadilan ekonomi terasa timpang, ibarat sinyal Wi-Fi yang penuh di kota, tetapi lemah di pedesaan.
**Mimpi Singkong di Masa Depan**
Di tengah kemelut, aksi ini memberi harapan bahwa perubahan itu mungkin. Jika perusahaan bersedia mendengar, mungkin singkong bisa menjadi produk lokal yang tak hanya “manis di industri,” tetapi juga menguntungkan petaninya.
Seperti halnya transformasi digital, perubahan dalam dunia pertanian juga memerlukan sinergi semua pihak. Petani, perusahaan, dan pemerintah harus menyalakan visi bersama, menjadikan singkong lebih dari sekadar komoditas—melainkan simbol kebangkitan ekonomi yang adil. (Aby)