Oleh: A Zahriansyah A.M.A
Dua pekan terakhir, publik Lampung disuguhi gegap gempita isu agraria yang menyeruak dari Senayan. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi II DPR RI, telah diambil keputusan penting: pengukuran ulang Hak Guna Usaha (HGU) PT Sugar Group Companies (SGC). Keputusan itu ditegaskan dalam dokumen resmi yang ditandatangani Pimpinan Rapat, Dede Yusuf Macan Effendi, bersama jajaran Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), dan secara hukum-politik bersifat mengikat.
Namun, alih-alih merespons capaian ini dengan pemahaman yang matang, ruang publik justru dipenuhi teriakan yang ironis: “Ukur ulang SGC!” Padahal, keputusan itu sudah final, bukan lagi tuntutan.
Pertanyaannya, apakah sebagian publik dan elite lokal belum membaca dokumen resmi hasil rapat tersebut? Atau jangan-jangan mereka hanya ingin menumpang gaung isu yang sedang ramai, tanpa benar-benar memahami substansinya?
Sayangnya, di tengah hingar-bingar media sosial dan pernyataan publik yang berseliweran, hampir tak terdengar uraian utuh mengenai dasar hukum keputusan itu. Padahal, pengukuran ulang HGU bukan sekadar aksi moral atau tekanan politik, ia adalah mandat dari hukum agraria kita.
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 menegaskan bahwa negara berwenang mengatur, mengurus, dan mengawasi penggunaan serta penguasaan tanah. Dalam konteks HGU, negara bukan hanya bisa, tapi wajib mengevaluasi luas dan peruntukannya.
Siapa yang berjuang, Siapa yang menumpang?
Tiga organisasi masyarakat sipil, DPP Akar Lampung, LSM Keramat, dan DPP Pematank telah menjadi penggerak utama isu ini sejak awal. Mereka mengusung tuntutan berbasis data dan argumentasi hukum. Namun saat perjuangan ini mulai berbuah, justru muncul narasi liar yang menjauh dari konteks dokumen dan regulasi.
Uniknya, dukungan terus mengalir seolah-olah keputusan belum dibuat. Fenomena ini bisa dibaca sebagai tanda rendahnya literasi isu agraria, atau adanya pihak-pihak yang mencoba memanfaatkan momen ini untuk kepentingan politik.
Lebih mengkhawatirkan lagi, diskusi publik nyaris abai pada potensi besar dari pengukuran ulang ini: terbukanya data aktual penguasaan lahan ilegal, potensi penagihan pajak PPN dan PPh, penarikan PNBP atas tanaman tumbuh, hingga perhitungan ulang sewa lahan negara. Bila seluruh proses berjalan, negara bisa memperoleh kembali triliunan rupiah yang selama ini hilang ditelan praktik konglomerasi agraria.
RDP dan RDPU adalah langkah awal, bukan akhir. Ini baru pintu masuk menuju keadilan agraria di Lampung. Tapi perjuangan sesungguhnya justru dimulai setelah keputusan diambil: bagaimana mengawal implementasi, menjaga narasi tetap lurus, dan memastikan hukum benar-benar ditegakkan.
Publik Lampung tak boleh lagi hanya jadi penonton, apalagi pengeruh suasana. Kini saatnya kembali pada substansi. Baca dokumennya, pahami regulasinya, dan kawal pelaksanaannya. Sebab yang sedang diperjuangkan bukan semata luas lahan, tapi soal keadilan, kedaulatan, dan masa depan generasi yang mungkin lahir di tanah ini tanpa punya sepetak pun hak atasnya.
Editor: Redaksi Jelajah.co