Lampung, Jelajah.co – Dalam dunia agraria, singkong bak anak tiri yang dipaksa bekerja keras tanpa jaminan upah layak. Jika kita menengok sejarah, singkong pernah menjadi penyelamat bangsa dalam krisis pangan 1914–1918. Namun, kini ia seperti tokoh tragis dalam drama agraria, dipuja saat dibutuhkan, tapi diabaikan ketika melimpah.
“Singkong adalah komoditas pangan utama, tapi nasib petani justru seperti pengemis di tanah sendiri,” kata Ketua DPC PPUKI, Haris Rusdi, SH, mengutip Asta Cita Presiden Prabowo Subianto yang menjanjikan kesejahteraan petani.
Ironi itu semakin menyayat hati ketika keputusan Gubernur Lampung pada 23/12/24 menetapkan harga terendah singkong Rp1.400 per kilogram dengan potongan maksimal 15%. Namun, pabrik justru menambahkan syarat kadar pati, seolah-olah singkong hasil panen petani harus menyerupai emas 24 karat.
Hari ini, puluhan petani yang tergabung dalam Dewan Pimpinan Cabang Perkumpulan Petani Ubi Kayu Indonesia (DPC PPUKI) Kabupaten Lampung Utara menyuarakan keadilan dengan mendatangi gedung DPRD. Mereka membawa harapan sekaligus protes, meminta pemerintah daerah turun tangan terhadap pabrik-pabrik yang, menurut mereka, menerapkan aturan seperti tuan tanah di zaman feodal.
Ketua DPC PPUKI, Haris Rusdi, SH, menyebut perlakuan pabrik terhadap petani tak ubahnya seperti menambah beban pada bahu yang sudah lelah. Aturan yang dianggap tidak masuk akal, seperti syarat kadar pati 24%, menjadi momok yang membuat hasil panen petani terancam tak dihargai.
“Kami hanya ingin keadilan. Jangan biarkan pabrik memutarbalikkan kebijakan pemerintah,” ujarnya dengan nada tegas, mengingatkan bahwa demokrasi juga berlaku di ladang singkong.
Seruan dari Ladang: Jangan Biarkan Ketidakadilan Berakar
Dalam protes ini, para petani seperti pohon singkong yang akarnya meronta ingin keluar dari cengkeraman tanah keras ketidakadilan. “Jika kadar pati kurang, mestinya refaksi 0%, bukan dipotong seenaknya. Kami ingin pemerintah bertindak sebelum petani kehilangan semangat,” ujar Haris.
Sejatinya, perjuangan petani ini bukan hanya soal angka pada harga singkong, melainkan soal martabat yang tertanam bersama setiap akar singkong di ladang mereka. Di tengah gempuran globalisasi dan kapitalisme, suara petani menjadi pengingat bahwa keadilan sosial harus tumbuh di semua lini, termasuk di ladang singkong.
Epilog: Singkong dan Janji yang Mengakar
Aksi ini tidak sekadar tuntutan, tapi juga doa agar janji kesejahteraan petani tak hanya menjadi retorika di atas panggung politik. Harapan mereka sederhana: hidup yang layak dari hasil keringat sendiri. Dan mungkin, suatu hari nanti, singkong tak lagi menjadi simbol anak tiri agraria, melainkan pahlawan sejati di negeri sendiri. (Aby/)*