• Redaksi
  • Tentang Kami
  • Kebijakan Hak Cipta
  • Privacy Policy
Minggu, 28 September 2025
Kirimi Artikel Yukk  
www.jelajah.co
No Result
View All Result
  • Pemerintahan
  • Politik
  • Pendidikan
  • Kesehatan
  • Nusantara
    • Aceh
    • Babel
    • Bali
    • Banten
    • Bengkulu
    • Gorontalo
    • Jabar
    • Jakarta
    • Jambi
    • Jateng
    • Jatim
    • Kalbar
    • Kalsel
    • Kaltara
    • Kalteng
    • Kaltim
    • Kepri
    • Lampung
    • Maluku
    • Malut
    • NTB
    • NTT
    • Papua
    • Riau
    • Sulbar
    • Sulsel
    • Sulteng
    • Sultra
    • Sulut
    • Sumbar
    • Sumsel
    • Sumut
    • Yogyakarta
  • Sudut Pandang
  • E-Paper
  • Pemerintahan
  • Politik
  • Pendidikan
  • Kesehatan
  • Nusantara
    • Aceh
    • Babel
    • Bali
    • Banten
    • Bengkulu
    • Gorontalo
    • Jabar
    • Jakarta
    • Jambi
    • Jateng
    • Jatim
    • Kalbar
    • Kalsel
    • Kaltara
    • Kalteng
    • Kaltim
    • Kepri
    • Lampung
    • Maluku
    • Malut
    • NTB
    • NTT
    • Papua
    • Riau
    • Sulbar
    • Sulsel
    • Sulteng
    • Sultra
    • Sulut
    • Sumbar
    • Sumsel
    • Sumut
    • Yogyakarta
  • Sudut Pandang
  • E-Paper
No Result
View All Result
Jelajah.co
No Result
View All Result
  • Pemerintahan
  • Politik
  • Pendidikan
  • Kesehatan
  • Nusantara
  • Sudut Pandang
  • E-Paper
Home Nusantara Lampung

Dramaturgi Singkong: Dari Pahlawan Krisis Hingga Korban Kapitalis

Redaksi by Redaksi
16 Januari 2025
in Lampung, Nusantara, Pemerintahan
A A
Share on FacebookShare on Twitter

Lampung, Jelajah.co  – Dalam dunia agraria, singkong bak anak tiri yang dipaksa bekerja keras tanpa jaminan upah layak. Jika kita menengok sejarah, singkong pernah menjadi penyelamat bangsa dalam krisis pangan 1914–1918. Namun, kini ia seperti tokoh tragis dalam drama agraria, dipuja saat dibutuhkan, tapi diabaikan ketika melimpah.

“Singkong adalah komoditas pangan utama, tapi nasib petani justru seperti pengemis di tanah sendiri,” kata Ketua DPC PPUKI, Haris Rusdi, SH, mengutip Asta Cita Presiden Prabowo Subianto yang menjanjikan kesejahteraan petani.

Ironi itu semakin menyayat hati ketika keputusan Gubernur Lampung pada 23/12/24 menetapkan harga terendah singkong Rp1.400 per kilogram dengan potongan maksimal 15%. Namun, pabrik justru menambahkan syarat kadar pati, seolah-olah singkong hasil panen petani harus menyerupai emas 24 karat.

BACA JUGA

Prabowo akan Panggil Kepala BGN, Bahas Kasus Keracunan Massal Program MBG

28 September 2025

Ribuan Anak Sekolah Keracunan Menu MBG, Pemerintah Tinjau Ulang Program

27 September 2025

Hari ini, puluhan petani yang tergabung dalam Dewan Pimpinan Cabang Perkumpulan Petani Ubi Kayu Indonesia (DPC PPUKI) Kabupaten Lampung Utara menyuarakan keadilan dengan mendatangi gedung DPRD. Mereka membawa harapan sekaligus protes, meminta pemerintah daerah turun tangan terhadap pabrik-pabrik yang, menurut mereka, menerapkan aturan seperti tuan tanah di zaman feodal.

Ketua DPC PPUKI, Haris Rusdi, SH, menyebut perlakuan pabrik terhadap petani tak ubahnya seperti menambah beban pada bahu yang sudah lelah. Aturan yang dianggap tidak masuk akal, seperti syarat kadar pati 24%, menjadi momok yang membuat hasil panen petani terancam tak dihargai.

“Kami hanya ingin keadilan. Jangan biarkan pabrik memutarbalikkan kebijakan pemerintah,” ujarnya dengan nada tegas, mengingatkan bahwa demokrasi juga berlaku di ladang singkong.

Seruan dari Ladang: Jangan Biarkan Ketidakadilan Berakar

Dalam protes ini, para petani seperti pohon singkong yang akarnya meronta ingin keluar dari cengkeraman tanah keras ketidakadilan. “Jika kadar pati kurang, mestinya refaksi 0%, bukan dipotong seenaknya. Kami ingin pemerintah bertindak sebelum petani kehilangan semangat,” ujar Haris.

Sejatinya, perjuangan petani ini bukan hanya soal angka pada harga singkong, melainkan soal martabat yang tertanam bersama setiap akar singkong di ladang mereka. Di tengah gempuran globalisasi dan kapitalisme, suara petani menjadi pengingat bahwa keadilan sosial harus tumbuh di semua lini, termasuk di ladang singkong.

Epilog: Singkong dan Janji yang Mengakar

Aksi ini tidak sekadar tuntutan, tapi juga doa agar janji kesejahteraan petani tak hanya menjadi retorika di atas panggung politik. Harapan mereka sederhana: hidup yang layak dari hasil keringat sendiri. Dan mungkin, suatu hari nanti, singkong tak lagi menjadi simbol anak tiri agraria, melainkan pahlawan sejati di negeri sendiri. (Aby/)*

Previous Post

ELPK Desak Penuntasan Kasus Dugaan Korupsi Dana Hibah LPTQ 2022 di Pringsewu

Next Post

Gembok dan Rubik Laporkan Proyek Dinas KPTPHP Lampung Timur ke Kejati Lampung

Redaksi

Redaksi

Redaksi www.jelajah.co

BERITA POPULER

Gemparin Desak Pemkot Tutup Tempat Hiburan Malam Pasca Penggerbekan “Pesta Narkoba” Pengurus HIPMI Lampung

5 September 2025

Lampung Tunjukkan Wajah Damai Unjuk Rasa

1 September 2025

Reforma Agraria Jadi Sorotan, Mahasiswa Lampung Desak Ukur Ulang HGU PT SGC

1 September 2025

Dirga Al-Fatih Siap Mewakili Lampung dalam ajang FLS3N Tingkat Nasional

13 September 2025

Permasalahan Pendidikan di Provinsi Lampung: Tantangan dan Harapan

21 Oktober 2024

Kinerja Kejati Lampung Dipertanyakan, Dua Kasus Korupsi Besar Mandek

26 September 2025
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Kebijakan Hak Cipta
  • Privacy Policy

© 2024 JELAJAH.CO - All Rights Reserved.

No Result
View All Result
  • Pemerintahan
  • Politik
  • Pendidikan
  • Kesehatan
  • Nusantara
    • Aceh
    • Babel
    • Bali
    • Banten
    • Bengkulu
    • Gorontalo
    • Jabar
    • Jakarta
    • Jambi
    • Jateng
    • Jatim
    • Kalbar
    • Kalsel
    • Kaltara
    • Kalteng
    • Kaltim
    • Kepri
    • Lampung
    • Maluku
    • Malut
    • NTB
    • NTT
    • Papua
    • Riau
    • Sulbar
    • Sulsel
    • Sulteng
    • Sultra
    • Sulut
    • Sumbar
    • Sumsel
    • Sumut
    • Yogyakarta
  • Sudut Pandang
  • E-Paper

© 2024 JELAJAH.CO - All Rights Reserved.