Bandarlampung, Jelajah.co – Dalam perjalanan sejarah Lampung, pembangunan ibarat sebuah perahu besar yang terus berlayar melawan arus. Setiap pemimpin adalah nahkoda, dengan tugas memastikan kapal tetap bergerak maju, meski badai dan gelombang datang silih berganti. Namun, di tengah perjalanan, ego politik sering kali menjadi karang yang diam-diam mengancam arah pelayaran itu.
Hal itulah yang disoroti oleh salah tokoh penting Lampung saat berbicara tentang pembangunan Lampung ditengah-tengah lautan Jurnalis. Menurutnya, ego politik yang melekat pada pemimpin sering kali menjadi penghambat kesinambungan pembangunan. Seperti nahkoda yang menolak peta buatan pendahulunya, ego politik membuat program-program pembangunan kerap terhenti di tengah jalan, hanya karena berasal dari kubu berbeda.
“Tidak ada tempat bagi ego politik dalam pembangunan. Masyarakat ingin janji-janji yang diucapkan saat kampanye benar-benar diwujudkan, bukan sekadar slogan,” ucapnya disambut riuh tepuk tangan para Jurnalis yang ingin mendengar pandangan pembangunan Lampung dari sosok tersebut..
Ia mengingatkan, masyarakat Lampung tidak peduli siapa yang memulai sebuah proyek. Bagi mereka, pembangunan adalah tentang hasil nyata yang bisa dirasakan, seperti jalan-jalan yang mulus, irigasi yang lancar, atau fasilitas pendidikan yang memadai. Jika ego politik terus dibiarkan, pembangunan akan seperti jalan berlubang: setengah diperbaiki, setengah lagi terbengkalai.
Pembangunan: Warisan Tanpa Nama
Lampung telah banyak belajar dari masa lalu. Di era kolonial, infrastruktur seperti jalur kereta api dan pelabuhan dibangun untuk kepentingan kolonialisme, tetapi kemudian menjadi warisan yang bermanfaat bagi generasi berikutnya. Filosofi ini, menurutnya harus dipegang oleh setiap pemimpin.
“Kunci keberhasilan seorang pemimpin adalah keberaniannya untuk melanjutkan hal baik dari siapapun, sambil memberikan inovasi baru yang sesuai dengan kebutuhan rakyat,” katanya.
Analoginya, pembangunan adalah seperti sebuah rumah besar. Pemimpin yang satu meletakkan pondasi, pemimpin berikutnya membangun dinding, dan pemimpin selanjutnya memasang atap. Jika satu generasi pemimpin menolak melanjutkan pekerjaan sebelumnya, rumah itu tidak akan pernah selesai, dan rakyat hanya akan melihat kerangka yang tak pernah jadi.
Janji Kampanye: Kompas untuk Masa Depan
Dibalik sosoknya yang ramah akan senyuman, ia memiliki ketegasan dan berani menekankan kepada kepala daerah yang terpilih pentingnya merealisasikan janji kampanye. Dalam pandangannya, janji kampanye adalah seperti kompas: alat yang menunjukkan arah tujuan, sekaligus pengingat untuk tidak kehilangan arah.
Namun, ego politik sering kali membuat pemimpin melupakan janji mereka. “Masyarakat tidak peduli apa warna politik seorang pemimpin. Yang mereka inginkan hanyalah hasil nyata yang bisa dirasakan,” tegasnya.
Jika janji itu tidak diwujudkan, rakyat akan merasa seperti menumpang di kapal yang kehilangan kompas—tak tahu ke mana tujuan mereka. Padahal, setiap pemimpin di Lampung seharusnya punya satu visi yang sama: membawa provinsi ini ke arah yang lebih baik.
Harapan Baru untuk Lampung
Lampung, dengan segala potensinya, adalah tanah subur yang menunggu untuk terus digarap. Ia berharap, para kepala daerah terpilih di masa mendatang mampu menanggalkan ego politik mereka. Seperti petani yang tidak mempersoalkan siapa yang mulai menanam, para pemimpin harus berfokus pada hasil panen: kemakmuran rakyat.
“Masyarakat Lampung menanti pemimpin yang mampu mengutamakan kepentingan rakyat di atas perbedaan politik. Pembangunan adalah tanggung jawab bersama,” pungkasnya.
Seperti halnya perahu besar yang terus berlayar, pembangunan di Lampung harus melampaui batasan ego. Para pemimpin adalah nahkoda yang harus berani menghadapi badai dan tetap setia pada peta, membawa kapal besar ini menuju dermaga kesejahteraan yang dicita-citakan. (Aby)