Oleh: Jelajah.co
Di tengah riuhnya mal yang tak pernah tidur, deretan lampu terang Karang Indah Mall (KIM) di Bandar Lampung menyihir siapa saja yang melintas. Orang lalu-lalang membawa belanjaan, musik tenant tak henti menyala, dan senyum ramah para pramuniaga menyambut setiap pelanggan. Tapi di balik etalase kaca dan mesin kasir itu, ada yang lebih dingin dari lantai marmer: sebuah sistem yang menahan hak pekerja sebagaimana borgol tak terlihat di era modern.
Seperti cerita Ajid, mantan pegawai di salah satu tenant KIM, yang ijazahnya terjebak seperti sandera perang dalam skenario korporasi kecil-kecilan.
“Waktu saya resign, saya cuma ingin ijazah saya kembali. Tapi malah disuruh bayar Rp4,5 juta,” tutur Ajid dengan suara berat. “Katanya buat ganti biaya training dan barang-barang rusak.”
Ajid bukan satu-satunya. Ada puluhan kisah senada, bak benang kusut yang disimpan rapi di balik dinding toko. Mereka adalah generasi pekerja muda, tulus bekerja, tapi hak dasarnya justru digadai oleh sistem yang berjalan tanpa kompas keadilan.
Ibarat Membeli Kebebasan dengan Harga Sendiri
Ijazah bukan sekadar kertas. Ia simbol kerja keras, doa orang tua, dan harapan masa depan. Tapi di Karang Indah Mall, dokumen itu seperti sandar gadai, seolah-olah pekerja adalah barang titipan yang baru bisa diambil setelah “membeli kembali” dirinya sendiri.
Ajid bahkan sudah menempuh jalur resmi. Ia melapor ke Dinas Tenaga Kerja Kota Bandar Lampung. Sebuah mediasi digelar, disepakati bahwa semua hak pekerja (Ajid) akan diberikan setelah biaya administrasi (Pengganti Training) sebesar Rp500 ribu dikembalikan. Tapi ketika ia datang pada hari yang dijanjikan, angka itu berubah menjadi Rp4,5 juta lagi, seakan harga keadilan bisa ditawar ulang.
“Saya datang dengan niat baik, bawa uang sesuai perjanjian. Tapi malah ditolak. Saya disuruh bayar penuh. Rasanya seperti dipermainkan,” ujar Ajid.
Senyum di Luar, Derita di Dalam
Kita terbiasa mengaitkan feodalisme dengan masa lalu: tuan tanah, kuli tani, dan upeti. Tapi hari ini, dalam bentuk yang lebih rapi dan terstruktur, praktik itu hidup lagi. Gaji yang tidak sesuai UMR, ijazah yang ditahan, bahkan produk yang dijual tanpa izin semuanya menciptakan simulakra modern dari ketidakadilan lama.
Karyawan di KIM dan Mall Kartini mengaku menerima gaji di bawah standar minimum, antara Rp1,9 hingga Rp2,4 juta per bulan, jauh dari UMR Bandar Lampung tahun 2025 yang ditetapkan sebesar Rp2,9 juta. Upah mereka bahkan belum cukup untuk menyewa kamar kos bulanan dan membeli makan tiga kali sehari.
Tak hanya soal hak pekerja, Jelajah.co juga menemukan adanya dugaan pelanggaran serius di sektor niaga. Di sejumlah tenant, ditemukan produk makanan dan minuman yang tidak memiliki label resmi BPOM atau label halal. Lebih parah, sebagian diduga menggunakan stiker BPOM palsu yang ditempel manual.
Seperti menjual janji dengan bungkusan indah, tapi isi yang meragukan. Ini bukan hanya melanggar hukum, tapi juga mengkhianati kepercayaan konsumen.
Feodalisme Tidak Mati, Ia Berganti Seragam
Apa yang terjadi di Karang Indah Mall adalah potret lebih besar dari mentalitas lama yang belum usai. Bedanya, kalau dulu para penguasa memegang cambuk, kini mereka memegang surat kontrak. Jika dulu kuli ladang dibayar dengan beras, kini pekerja ritel digaji dengan angka yang bahkan tak cukup untuk membeli harapan.
Saat ini, LBH Ansor Lampung telah melaporkan dugaan pelanggaran ini ke Polda Lampung dengan Nomor: LP/B/427/VI/2025/SPKT/POLDA LAMPUNG. Saksi telah diperiksa, bola panas sedang bergulir, dan publik kini menunggu: apakah keadilan akan hadir untuk mereka yang tak bersuara?
Ajid dan rekan-rekannya bukan sedang meminta lebih. Mereka hanya ingin apa yang menjadi hak mereka dikembalikan ijazah, upah, dan sedikit rasa hormat atas kerja keras mereka.
Di negeri yang katanya demokratis ini, tak seharusnya pekerja membeli kembali hak mereka dengan keringat yang sudah mereka berikan.
📍 Jelajah.co telah menghubungi pihak Karang Indah Mall untuk klarifikasi, namun hingga tulisan ini diterbitkan, belum ada jawaban resmi yang diterima redaksi.