• Redaksi
  • Tentang Kami
  • Kebijakan Hak Cipta
  • Privacy Policy
Minggu, 7 Desember 2025
Kirimi Artikel Yukk  
www.jelajah.co
No Result
View All Result
  • Pemerintahan
  • Politik
  • Pendidikan
  • Kesehatan
  • Nusantara
    • Aceh
    • Babel
    • Bali
    • Banten
    • Bengkulu
    • Gorontalo
    • Jabar
    • Jakarta
    • Jambi
    • Jateng
    • Jatim
    • Kalbar
    • Kalsel
    • Kaltara
    • Kalteng
    • Kaltim
    • Kepri
    • Lampung
    • Maluku
    • Malut
    • NTB
    • NTT
    • Papua
    • Riau
    • Sulbar
    • Sulsel
    • Sulteng
    • Sultra
    • Sulut
    • Sumbar
    • Sumsel
    • Sumut
    • Yogyakarta
  • Sudut Pandang
  • E-Paper
  • Pemerintahan
  • Politik
  • Pendidikan
  • Kesehatan
  • Nusantara
    • Aceh
    • Babel
    • Bali
    • Banten
    • Bengkulu
    • Gorontalo
    • Jabar
    • Jakarta
    • Jambi
    • Jateng
    • Jatim
    • Kalbar
    • Kalsel
    • Kaltara
    • Kalteng
    • Kaltim
    • Kepri
    • Lampung
    • Maluku
    • Malut
    • NTB
    • NTT
    • Papua
    • Riau
    • Sulbar
    • Sulsel
    • Sulteng
    • Sultra
    • Sulut
    • Sumbar
    • Sumsel
    • Sumut
    • Yogyakarta
  • Sudut Pandang
  • E-Paper
No Result
View All Result
Jelajah.co
No Result
View All Result
  • Pemerintahan
  • Politik
  • Pendidikan
  • Kesehatan
  • Nusantara
  • Sudut Pandang
  • E-Paper
Home Lainnya

Ketika Jalan Tol Dianggap Panggung, dan Nyawa Hanya Properti Konten

Redaksi by Redaksi
15 Juli 2025
in Lainnya, Lampung
A A
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: (Cut Habibi)

“Aura farming” bukan sekadar tren dadakan di media sosial. Ia berakar dari sebuah tradisi budaya yang sangat dihormati: Pacu Jalur, perlombaan mendayung perahu panjang di atas Sungai Kuantan yang sudah ada sejak abad ke-17 di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau.

Dalam ajang Pacu Jalur, terdapat satu sosok penting di ujung perahu, seorang anak atau remaja yang menari-nari penuh semangat sambil memainkan gerakan tubuh untuk menyemangati para pendayung. Sosok ini dikenal sebagai “pembangkit aura.” Gerakannya khas, penuh energi, dan memiliki makna: membakar semangat tim, bukan mempertontonkan keberanian tanpa arah.

BACA JUGA

YBM BRILiaN Region 5 Bandar Lampung Raih Penghargaan Mitra Program Beasiswa dari ITERA

6 Desember 2025

Rakernas FPTI 2025, Lampung Dorong Penguatan Organisasi dan Pembinaan Atlet

5 Desember 2025

Tren ini lalu viral, diikuti selebriti, pesohor, hingga pesepakbola internasional. Namun, inilah titik kritisnya, ketika tren budaya luhur kehilangan konteks dan disalahartikan demi eksistensi digital. Bukannya membangkitkan semangat, malah membahayakan keselamatan.

Kasus yang terjadi di Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) KM 58 Jalur B adalah contoh telanjang dari penyimpangan tersebut. Remaja duduk di atas kap mobil yang melaju, bergaya bak penari aura farming di tengah jalan tol, tanpa pengaman. Viral? Ya. Membanggakan? Jelas tidak. Apalagi jalan tol bukan ruang pertunjukan. Ini adalah zona kecepatan tinggi yang rentan bahaya, bukan panggung seni.

Beruntung, Ditlantas Polda Lampung bergerak cepat. Tak hanya menjatuhkan sanksi maksimal berupa tilang dan ancaman pidana, mereka juga menghadirkan pendekatan edukatif. Para pelanggar dipanggil, diminta membuat permintaan maaf dan diberi pemahaman tentang keselamatan berkendara. Langkah ini layak diapresiasi bukan semata menghukum, tapi juga memulihkan.

Namun, langkah seperti ini seharusnya tidak bersifat reaktif saja. Pendidikan lalu lintas perlu menyasar ekosistem digital, tempat tren-tren ini lahir dan menyebar. Kampanye keselamatan tak cukup di ruang formal, harus pula masuk ke ruang-ruang komunitas, kanal YouTube otomotif, hingga TikTok edukatif.

Kita pun tidak bisa hanya menyalahkan pelaku. Komunitas otomotif, kreator konten, hingga penonton punya tanggung jawab moral untuk tidak mengglorifikasi aksi sembrono. Jika budaya bisa diangkat oleh viralitas, maka edukasi dan etika pun seharusnya bisa ditanamkan melalui jalur yang sama.

Pada akhirnya, tren positif akan tetap positif jika dipahami secara utuh dan digunakan pada tempatnya. Sayangnya, ketika gengsi di jalan tol dibayar dengan nyawa, nilai budaya pun ikut tercoreng. Ini saatnya kita bertanya ulang: lebih penting mana, viralitas atau keselamatan?

 

Previous Post

Raih 10 Medali di IPSI Championship II, Pagar Nusa Madarijul Ulum Ukir Prestasi Gemilang

Next Post

RDPU Memanas!!! DPR-RI Perintahkan Ukur Ulang Lahan PT SGC 

Redaksi

Redaksi

Redaksi www.jelajah.co

BERITA POPULER

Warga Komplek Puri Asih Sejahtera Tolak Sengketa Lahan, PN Bekasi Lakukan Peninjauan Setempat

2 Desember 2025

FORMALIS Lampung Gelar Aksi Besar Terkait Dugaan Mafia BBM Subsidi di Tanggamus

30 November 2025

Warga Dusun 1 Way Huwi Kompak Lanjutkan Pengecoran Jalan

16 November 2025

BSP 2025: Solidaritas untuk Palestina Mengalir dari Sungai Mahakam Kalimantan Timur

25 November 2025

ALAK Serukan Penyidikan Dugaan KKN di Dinsos dan DLH Lampung, Kejati Diminta Bertindak

27 November 2025

Sekdaprov Lampung Raih Penghargaan Vision Terbaik pada ASKOMPSI Digital Leadership Government Award 2025

20 November 2025
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Kebijakan Hak Cipta
  • Privacy Policy

© 2024 JELAJAH.CO - All Rights Reserved.

No Result
View All Result
  • Pemerintahan
  • Politik
  • Pendidikan
  • Kesehatan
  • Nusantara
    • Aceh
    • Babel
    • Bali
    • Banten
    • Bengkulu
    • Gorontalo
    • Jabar
    • Jakarta
    • Jambi
    • Jateng
    • Jatim
    • Kalbar
    • Kalsel
    • Kaltara
    • Kalteng
    • Kaltim
    • Kepri
    • Lampung
    • Maluku
    • Malut
    • NTB
    • NTT
    • Papua
    • Riau
    • Sulbar
    • Sulsel
    • Sulteng
    • Sultra
    • Sulut
    • Sumbar
    • Sumsel
    • Sumut
    • Yogyakarta
  • Sudut Pandang
  • E-Paper

© 2024 JELAJAH.CO - All Rights Reserved.