Oleh: (Cut Habibi)
“Aura farming” bukan sekadar tren dadakan di media sosial. Ia berakar dari sebuah tradisi budaya yang sangat dihormati: Pacu Jalur, perlombaan mendayung perahu panjang di atas Sungai Kuantan yang sudah ada sejak abad ke-17 di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau.
Dalam ajang Pacu Jalur, terdapat satu sosok penting di ujung perahu, seorang anak atau remaja yang menari-nari penuh semangat sambil memainkan gerakan tubuh untuk menyemangati para pendayung. Sosok ini dikenal sebagai “pembangkit aura.” Gerakannya khas, penuh energi, dan memiliki makna: membakar semangat tim, bukan mempertontonkan keberanian tanpa arah.
Tren ini lalu viral, diikuti selebriti, pesohor, hingga pesepakbola internasional. Namun, inilah titik kritisnya, ketika tren budaya luhur kehilangan konteks dan disalahartikan demi eksistensi digital. Bukannya membangkitkan semangat, malah membahayakan keselamatan.
Kasus yang terjadi di Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) KM 58 Jalur B adalah contoh telanjang dari penyimpangan tersebut. Remaja duduk di atas kap mobil yang melaju, bergaya bak penari aura farming di tengah jalan tol, tanpa pengaman. Viral? Ya. Membanggakan? Jelas tidak. Apalagi jalan tol bukan ruang pertunjukan. Ini adalah zona kecepatan tinggi yang rentan bahaya, bukan panggung seni.
Beruntung, Ditlantas Polda Lampung bergerak cepat. Tak hanya menjatuhkan sanksi maksimal berupa tilang dan ancaman pidana, mereka juga menghadirkan pendekatan edukatif. Para pelanggar dipanggil, diminta membuat permintaan maaf dan diberi pemahaman tentang keselamatan berkendara. Langkah ini layak diapresiasi bukan semata menghukum, tapi juga memulihkan.
Namun, langkah seperti ini seharusnya tidak bersifat reaktif saja. Pendidikan lalu lintas perlu menyasar ekosistem digital, tempat tren-tren ini lahir dan menyebar. Kampanye keselamatan tak cukup di ruang formal, harus pula masuk ke ruang-ruang komunitas, kanal YouTube otomotif, hingga TikTok edukatif.
Kita pun tidak bisa hanya menyalahkan pelaku. Komunitas otomotif, kreator konten, hingga penonton punya tanggung jawab moral untuk tidak mengglorifikasi aksi sembrono. Jika budaya bisa diangkat oleh viralitas, maka edukasi dan etika pun seharusnya bisa ditanamkan melalui jalur yang sama.
Pada akhirnya, tren positif akan tetap positif jika dipahami secara utuh dan digunakan pada tempatnya. Sayangnya, ketika gengsi di jalan tol dibayar dengan nyawa, nilai budaya pun ikut tercoreng. Ini saatnya kita bertanya ulang: lebih penting mana, viralitas atau keselamatan?