JAKARTA, Jelajah.co – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuding Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto sebagai aktor intelektual dalam kasus dugaan suap terhadap mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan. Hal ini diungkapkan langsung oleh penyidik KPK Arif Budi Raharjo dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (16/05/2025).
Menurut Arif, tudingan tersebut merujuk pada hasil pemeriksaan terhadap saksi Saeful Bahri serta sejumlah bukti petunjuk lain, termasuk percakapan antara Donny Tri Istiqomah dan Harun Masiku.
“Bukti petunjuk yang kami temukan itu dari bukti percakapan Donny Tri Istiqomah,” ujar Arif di hadapan majelis hakim.
KPK menilai Hasto memiliki peran sentral dalam mendorong pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019–2024 dari Riezky Aprilia kepada Harun Masiku. Dalam dakwaan, Hasto diduga terlibat dalam pertemuan dan komunikasi yang mengarah pada dugaan suap sebesar 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Wahyu Setiawan, agar KPU mengakomodasi permohonan PAW tersebut.
Tak hanya itu, Hasto juga didakwa merintangi penyidikan dengan menyuruh Harun Masiku, melalui penjaga Rumah Aspirasi, untuk merendam ponsel ke dalam air guna menghilangkan jejak komunikasi usai operasi tangkap tangan terhadap Wahyu Setiawan. Ia juga disebut memerintahkan ajudannya, Kusnadi, melakukan tindakan serupa.
Merespons tudingan tersebut, Hasto membantah keras dianggap sebagai aktor intelektual dalam kasus tersebut. Ia menilai langkahnya adalah bagian dari proses hukum yang sah dilakukan oleh partai politik.
“Itu dianggap sebagai aktor intelektual. Padahal apa yang saya lakukan terhadap proses awal adalah suatu tindakan konstitusional, sebagai hak resmi partai politik untuk melakukan judicial review ke Mahkamah Agung dan meminta fatwa,” ujar Hasto kepada awak media usai persidangan.
Ia menekankan, tindakan tersebut adalah langkah organisatoris, bukan pribadi. Hasto bahkan membandingkan dengan prosedur di KPK yang juga dilakukan atas nama institusi, bukan individu.
“Jadi bukan berarti yang mengeluarkan sprinlidik lalu dianggap sebagai aktor intelektual,” imbuhnya.
Hasto kini dijerat dengan Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. (Red)