Jakarta, Jelajah.co – Babak baru konflik agraria di Lampung resmi dimulai. Komisi II DPR RI mengambil langkah berani dengan memerintahkan pengukuran ulang seluruh lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Sugar Group Companies (SGC), menyusul simpang siurnya data resmi dan desakan dari organisasi masyarakat sipil.
Keputusan ini diambil dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang berlangsung panas di Kompleks Parlemen, Selasa (15/07/2025).
Langkah DPR bukan tanpa alasan. Data resmi soal luas lahan SGC ternyata saling bertolak belakang:
- BPN (2019) mencatat 75,6 ribu hektare,
- ATR/BPN Tulang Bawang menyebut 86 ribu hektare,
- Website resmi DPR RI mencantumkan 116 ribu hektare,
- Data BPS (2013) bahkan menyentuh angka 141 ribu hektare.
Dalam forum RDPU, perwakilan ATR/BPN justru menyebut angka baru: 72,5 ribu hektare di Tulang Bawang dan 14,4 ribu hektare di Lampung Tengah—tanpa membawa dokumen pendukung. Lebih mengejutkan lagi, pejabat kementerian ini menolak membuka data HGU kepada DPR, dengan alasan internal birokrasi.
Sikap tertutup itu sontak memancing reaksi keras dari wakil rakyat. Wakil Ketua Komisi II DPR RI sekaligus pimpinan rapat, Dede Yusuf Macan Effendi, menyebut keterbukaan data sebagai syarat mutlak penyelesaian konflik.
“Kami sepakat ukur ulang harus dilakukan. Teknisnya kami serahkan ke Kementerian ATR/BPN. Tapi jangan sampai pemerintah tunduk pada korporasi,” tegas Dede Yusuf.
Desakan Rakyat Jadi Titik Balik
Penolakan awal dari jajaran Dirjen ATR/BPN yang berdalih soal keterbatasan anggaran tak mampu membendung tekanan. Tiga organisasi masyarakat sipil dari Lampung AKAR, PEMATANK, dan KERAMAT bersuara lantang, memaksa parlemen bersikap.
Ketua Aliansi Komando Aksi Rakyat (AKAR), Indra Musta’in, menyampaikan suara pilu warga yang telah terlalu lama menderita.
“Ini bukan sekadar soal angka di atas kertas. Sudah ada korban. Sudah ada darah. Negara harus berpihak pada rakyat, bukan pada konglomerat perampas tanah,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Suadi Romli dari PEMATANK yang mengungkap adanya tanah rakyat, bahkan makam keluarga, yang kini tak bisa lagi diziarahi karena dikuasai perusahaan.
Sementara itu, Sudirman Dewa dari KERAMAT menyebut dominasi tanah oleh SGC sebagai akar kemiskinan struktural di Lampung. Ia mendesak DPR untuk membuktikan keberpihakan mereka dengan aksi konkret, bukan sekadar janji.
“Penguasaan tanah yang timpang ini adalah bentuk ketidakadilan akut. Kami butuh bukti nyata, bukan janji,” ucap Sudirman.
Ukur Ulang: Pintu Pembuka Pengungkapan Pelanggaran
Komisi II DPR juga bersepakat untuk memanggil langsung pihak manajemen PT. SGC dan pimpinan Kementerian ATR/BPN dalam rapat lanjutan, guna membuka data legalitas HGU secara transparan.
Pengukuran ulang dipandang sebagai langkah strategis. Bukan hanya untuk menyelesaikan konflik, tapi juga membuka potensi pelanggaran lain, mulai dari penyalahgunaan lahan negara, hingga penghindaran pajak seperti PPN, PPh, dan PNBP dari hasil tanaman yang dikelola tanpa dasar hukum yang kuat.
Salah satu perwakilan AKAR bahkan menyatakan secara terbuka:
“Tabir gelap SGC hanya bisa dibuka dengan satu cara: ukur ulang! Dari situ, kita bisa bongkar semua pelanggaran dari tanah hingga pajak.”
Rapat itu sendiri dihadiri lengkap oleh para anggota DPR RI, jajaran Kementerian ATR/BPN, Kanwil BPN Provinsi Lampung, hingga Kantor Pertanahan dari kabupaten terdampak.
Harga Mati: Rakyat Tak Boleh Terusir dari Kampung Sendiri
Langkah DPR RI ini membawa harapan baru, bahwa negara benar-benar hadir untuk membela rakyat kecil. Bahwa para petani dan keluarga korban tak lagi dianggap sekadar angka dalam statistik, tapi sebagai pemilik sah masa depan tanah air ini.
Satu pesan tegas bergema dari ruang rapat hari itu: pengukuran ulang adalah harga mati. Tak ada lagi ruang bagi kesewenang-wenangan. Tak boleh ada rakyat yang terusir dari tanahnya sendiri hanya demi keuntungan korporasi raksasa. (Red)