“Kami tak berani macam-macam. Kalau tak ikut aturan, bisa dicoret, bisa dicopot”.
Oleh: Cut Habibi
Di dunia pewayangan, Sengkuni dikenal bukan karena kekuatan fisiknya, tapi karena kelicikan mulut dan tipu dayanya. Ia bukan tokoh utama, tapi ia mampu mengatur langkah para raja, mengadu domba, bahkan menjerumuskan kerajaan besar ke jurang kehancuran. Sayangnya, karakter seperti itu tak hanya hidup di kisah fiksi.
Di dunia pendidikan, Sengkuni ternyata punya banyak wajah.
Bayangkan: dana BOS yang nilainya ratusan miliar rupiah setiap tahun seharusnya menjadi amunisi bagi sekolah untuk berkembang—memperbaiki fasilitas, membeli buku, mendukung kegiatan belajar mengajar. Namun, banyak kepala sekolah justru merasa tidak bebas dalam menggunakan dana tersebut.
Pengadaan barang yang sudah “diatur”, penyedia jasa yang sudah “dipesan”, hingga laporan kegiatan yang disusun bukan karena ada kegiatan, melainkan karena “perlu dicatat”—semua menjadi bagian dari sandiwara. Dan di balik semua itu, berdirilah Sengkuni-Sengkuni modern. Mereka tak terlihat di barisan depan, tapi tangannya menjangkau ke semua arah.
Seorang Kepala Sekolah di Lampung Selatan mengungkapkan keresahannya, “Kami tak berani macam-macam. Kalau tak ikut aturan, bisa dicoret, bisa dicopot,” keluhnya dengan nada getir.
Betapa miripnya ini dengan kisah Kurawa yang digerakkan oleh kata-kata Sengkuni. Bukan karena setuju, tapi karena takut. Bukan karena yakin, tapi karena terpaksa. Sekolah akhirnya hanya menjadi wayang. Dana pendidikan bukan lagi alat perjuangan, tapi komoditas.
Bukan hanya sekolah formal yang jadi korban. Banyak lembaga PAUD dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) mengaku seperti anak tiri. Dana sudah ditransfer, tapi kegiatan pembelajaran tak berjalan maksimal. Pelatihan hanya terjadi di laporan. Dana kinerja hanya sekadar formalitas.
Kalau ini terus dibiarkan, kita tak sedang membangun generasi emas, tapi menciptakan sistem pendidikan yang lemah, yang terbiasa berpura-pura. Kita mengajari anak untuk jujur, tapi membiarkan sistemnya penuh tipu muslihat.
Sengkuni kalah bukan karena kekuatannya hilang, tapi karena ada yang berani membongkar tipu dayanya. Begitu juga di dunia pendidikan.
Sekarang saatnya publik, guru, media, dan orang tua untuk bersatu menjaga dana BOS tetap suci. Jangan biarkan sekolah menjadi panggung lakon palsu. Jangan biarkan kepala sekolah jadi tokoh wayang yang hanya digerakkan tanpa kendali.
Jika tidak, pendidikan kita akan dikendalikan oleh mereka yang lihai memainkan anggaran untuk kepentingan sendiri. Bukan untuk anak-anak, bukan untuk bangsa.
Karena pada akhirnya, pendidikan adalah medan suci. Dan mereka yang merusaknya dari dalam adalah Sengkuni yang harus disingkirkan—agar negeri ini benar-benar bisa mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan mencetak generasi yang tumbuh dari kebohongan.