Oleh: A Zahriansyah A MA
Di atas kertas, otonomi daerah memberi daerah kuasa mengelola rumah tangganya sendiri. Tapi di lapangan, ia hanya menjadi slogan kosong tercekik di tangan proyek-proyek kementerian yang datang membawa anggaran besar, namun meninggalkan infrastruktur rapuh dan penguasa-penguasa kecil yang kebal hukum.
Berbicara tentang negara berarti berbicara tentang pemerintahan. Dan membicarakan pemerintahan tak pernah lepas dari dua hal: peraturan dan anggaran. Ibarat kehidupan, anggaran adalah napas pemerintahan tanpanya, pemerintahan hanyalah tubuh tanpa jiwa.
Namun, realitas pengelolaan anggaran di negeri ini kerap mengundang tanya. Pemerintah pusat memang menyalurkan dana ke daerah melalui skema bagi hasil, DAK, DAU, BOK, BOS, BOP, dan seterusnya. Seharusnya ini menjadi modal utama pemerintah daerah untuk menggerakkan roda pembangunan. Tetapi di sisi lain, kementerian juga menanamkan “kaki-kaki kekuasaan” di daerah melalui satuan kerja (satker) dan balai. Mereka adalah kepanjangan tangan kementerian, mengelola anggaran besar untuk program teknis langsung dari pusat, tanpa melibatkan pemerintah daerah secara penuh.
Di atas kertas, satker dan balai bisa menjadi kekuatan tambahan bagi daerah. Namun dalam praktiknya, mereka justru menciptakan ruang kekuasaan tersendiri. Anggaran yang dikelola besar, pengawasan dari daerah minim, kualitas pekerjaan rendah, bahkan tak jarang proyek terbengkalai. Di Provinsi Lampung, misalnya, akumulasi anggaran satker balai Kementerian PUPR mencapai triliunan rupiah. Tetapi hasilnya? Pekerjaan molor, volume tak sesuai, dan ada yang berhenti sebelum rampung.
Ironisnya, gubernur sebagai pemegang otoritas tertinggi di daerah tak punya kewenangan menindak. DPRD provinsi maupun kabupaten juga tak berdaya. Semua kembali pada kementerian terkait dan DPR RI. Inilah titik lemah sistem kita: otonomi daerah yang dikibarkan tinggi dalam konstitusi ternyata lumpuh di hadapan proyek-proyek kementerian.
Lebih memprihatinkan lagi, satu balai bisa memiliki banyak KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) yang bekerja layaknya “kerajaan kecil” masing-masing. Dugaan penyimpangan di satu unit dianggap bukan urusan unit lain. Menteri diam. DPR RI yang seharusnya mengawasi ikut menikmati “jatah”. Aparat penegak hukum pun sering menutup mata.
Rakyat? Lagi-lagi hanya menjadi korban dari proyek setengah jadi, infrastruktur rapuh, dan pemborosan uang negara. Ini bukan sekadar korupsi individu, melainkan korupsi yang sudah menjadi sistem menggerogoti kedaulatan negara dan mematikan integritas pemerintahan dari dalam.
Pertanyaannya, sampai kapan daerah harus dibungkam oleh pola anggaran seperti ini? Sampai kapan proyek kementerian dibiarkan menjadi ladang permainan segelintir oknum tanpa kontrol publik yang kuat? Sampai kapan rakyat harus menerima infrastruktur murahan dari anggaran triliunan?
Otonomi daerah tidak boleh berhenti di tataran jargon. Gubernur, bupati, dan DPRD harus memiliki hak penuh untuk mengawasi, menilai, bahkan menghentikan proyek kementerian yang tak memenuhi standar. Jika tidak, kita sedang membiarkan republik ini hancur oleh tangan para koruptor yang beroperasi rapi di bawah payung aturan yang mereka buat sendiri. (Red)