Oleh: Cut Habibi (Pemred Jelajah.co)
Bandar Lampung sempat masuk daftar kota terpanas keempat di Asia Tenggara, dengan suhu ekstrem mencapai 37°C. Hanya berselang beberapa pekan, hujan deras mengguyur sebagian besar wilayah Lampung, memicu banjir dan longsor di Tanggamus, Lampung Barat, Pesisir Barat, Mesuji, hingga Pesawaran. Dua ekstrem cuaca dalam satu bulan ini menjadi tanda jelas: iklim di Lampung sedang berubah drastis.
Warga Mengungsi, Rumah Terendam
Di Tanggamus, banjir pada 6–13 September lalu merendam ratusan rumah dan memaksa sedikitnya 200 jiwa mengungsi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 166 rumah terdampak, dengan Kecamatan Cukuh Balak sebagai salah satu titik terparah.
“Air masuk cepat sekali, kami tidak sempat menyelamatkan barang-barang. Malam itu kami hanya lari ke tempat yang lebih tinggi,” ujar seorang warga yang rumahnya terendam.
Di lokasi lain, longsor menutup jalan utama dan memutus akses antar pekon. Saluran air yang terlalu sempit menjadi penyebab utama banjir meluap ke pemukiman.
Bukan Sekadar Cuaca
Banjir bandang dan panas ekstrem sering dianggap sebagai gejala alam biasa. Namun, jika ditelusuri lebih jauh, ada faktor struktural yang memperparah bencana. Pembukaan lahan tanpa kendali, drainase buruk, hingga lemahnya sistem peringatan dini menjadikan masyarakat korban berulang.
Pemerintah daerah memang turun ke lapangan setelah bencana: memberikan bantuan logistik, meninjau lokasi, bahkan berjanji memperbaiki fasilitas. Namun langkah pencegahan nyaris tak terlihat. Tidak ada sistem pemetaan daerah rawan yang dijadikan panduan pembangunan, tidak ada edukasi berkelanjutan bagi masyarakat, dan tidak ada transparansi dalam tata kelola ruang.
Lampung di Persimpangan Iklim
Kini, Lampung berada di persimpangan. Apakah kita akan terus membiarkan bencana silih berganti tanpa mitigasi? Atau berani menempatkan isu lingkungan sebagai prioritas utama?
Restorasi hutan di daerah hulu, normalisasi sungai, perbaikan saluran air di pekon, hingga penguatan desa tangguh bencana harus segera diwujudkan. Kebijakan pembangunan yang hanya berorientasi pada ekspansi ekonomi, tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan, hanya akan mempercepat siklus bencana.
Refleksi
Fenomena panas membara yang berubah menjadi banjir bandang hanya dalam hitungan pekan adalah alarm keras bagi masyarakat Lampung. Krisis iklim tidak lagi abstrak atau jauh di belahan dunia lain. Ia nyata, ada di halaman rumah warga, dan merenggut rasa aman kita.
Saat langit Lampung kadang menyengat, kadang menumpahkan air tanpa ampun, satu pertanyaan harus kita gaungkan: apakah kita mau terus menyalahkan alam, atau berani bercermin bahwa kelalaian kita sendiri yang memperbesar bencana?