Oleh: Cut Habibi (Pemred Jelajah.co)
Empat pulau kecil di ujung barat Sumatera, yang selama ini tak pernah bersuara, kini jadi saksi bisu tarik-menarik batas kewilayahan antara dua provinsi bersaudara: Aceh dan Sumatera Utara. Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, nama-nama yang mungkin tak tertera di buku pelajaran, tapi kini jadi topik hangat di ruang rapat istana hingga meja makan masyarakat pesisir.
Keempat pulau ini bukan hanya gugusan tanah di atas laut. Bagi warga pesisir Aceh Singkil, mereka adalah bagian dari sejarah, nadi ekonomi nelayan, dan simbol kedaulatan yang tak bisa dinegosiasikan. Tapi pada April 2025, sebuah surat keputusan Mendagri membuat gelombang baru: pulau-pulau itu dikodifikasi sebagai wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut.
Reaksi pun membuncah. Protes dilayangkan, data diajukan ulang, dan narasi sejarah kembali diangkat. Pemerintah Aceh menggandeng sejarawan, nelayan tua, hingga peneliti geospasial untuk membuktikan bahwa empat pulau itu tak pernah jauh dari pangkuan Tanah Rencong.
“Kami hidup dari laut di sekitar pulau-pulau itu. Bahkan makam leluhur kami ada di sana,” ujar seorang tokoh masyarakat Aceh Singkil yang tak ingin disebutkan namanya, saat dihubungi Jelajah.co. Baginya, keputusan itu bukan sekadar administratif, tapi persoalan identitas.
Hingga, pada Senin pagi, 16 Juni 2025, sekelompok pejabat tinggi duduk satu meja di Kantor Kemendagri. Di sana, hadir Wakil Mendagri Bima Arya, Sekjen Kemenhan, perwakilan BIG, hingga TNI AL dan AD. Satu hal yang menjadi sorotan: bukti baru.
“Kami pelajari lebih dalam lagi, ada novum atau data baru yang kami peroleh,” kata Bima. Bukti-bukti itu menjadi pintu masuk untuk mengevaluasi ulang Keputusan Mendagri sebelumnya. Bahkan tak lama setelah itu, Presiden Prabowo Subianto mengambil sikap.
“Berdasarkan dokumen, pemerintah telah ambil keputusan bahwa empat pulau itu milik Aceh,” tegas Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Selasa, 17 Juni 2025.
Keputusan itu datang setelah rapat tertutup yang mempertemukan Gubernur Aceh Muzakir Manaf, Gubernur Sumut Bobby Nasution, dan Mendagri Tito Karnavian. Isu yang sempat memanas, kini mereda dengan kata kunci: kesepakatan bersama.
Namun, pertanyaan masih tersisa: bagaimana mungkin sebuah keputusan administratif bisa mengabaikan akar historis dan sosial selama bertahun-tahun?
Tito Karnavian, sang Mendagri, sebelumnya menjelaskan bahwa penetapan pulau dalam Kepmendagri adalah bagian dari kewajiban negara untuk mendaftarkan nama pulau ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Karena itulah, penentuan wilayah harus pasti dan berdasar. Tapi ia juga membuka ruang untuk evaluasi dan gugatan hukum.
“Kami terbuka terhadap evaluasi, termasuk ke PTUN. Silakan saja,” kata Tito.
Kini, ketika keputusan sudah diambil dan pulau-pulau itu resmi kembali menjadi bagian Aceh, masyarakat berharap ini bukan akhir dari cerita, melainkan awal dari perhatian yang lebih besar.
“Selama ini, pulau-pulau itu sepi pembangunan. Jangan sampai hanya diributkan saat sengketa, tapi dilupakan setelahnya,” ucap salah satu tokoh nelayan dari Pulau Banyak, Aceh Singkil.
Empat pulau yang nyaris menjadi simbol perpecahan, kini punya peluang menjadi ikon penyatuan dan pembangunan. Tapi hanya jika negara hadir, bukan hanya dengan peta dan stempel, melainkan dengan perhatian yang nyata.