Oleh: Hendrik Tobing (Pemerhati Koperasi)
Kehebohan pembentukan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih (KMP) merupakan perpaduan antara nafsu dan kemampuan yang masih belum seimbang. Inpres No. 9 Tahun 2025 menjadi dasar kesibukan yang luar biasa bagi Kementerian dan Lembaga yang terkait termasuk Pemprov, Pemkab/Pemkot sampai ke kecamatan dan desa di seluruh Indonesia guna memenuhi target 80.000 KMP yang rencananya akan dicanangkan pada Hari Koperasi 12 Juli 2025. Sebelumnya sudah beredar issu bahwa anggaran untuk modal awal pembentukan Kopdes Merah Putih (KMP) berasal dari bank-bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara). Namun, karena banyak masyarakat menentang untuk melibatkan perbankan, karena berpotensi kredit macet (ingat: KUT, KCK, Kredit Pangan, dll), sekarang malah beralih pendanaan bersumber dari APBN dan APBD.
Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Menko Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas) yang juga menjadi Ketua Satgas Percepatan Pembentukan KMP, yang mengungkapkan bahwa anggaran untuk Kopdes Merah Putih ini akan berasal dari APBN dan APBD. “Anggaran tersebut akan diambil dari APBN, APBD. Besarannya per koperasi itu antara Rp3 miliar sampai Rp5 miliar,” katanya. Bayangkan: dikalikan 80.000 KMP mencapai sebesar Rp. 240 triliun sampai dengan Rp. 400 triliun. Waduh bakal bersaing dengan program MBG nih…
Berbeda dengan Zulhas, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menjelaskan, Kopdes Merah Putih (KMP) akan menggunakan APBD perubahan yang akan diusulkan pada Mei 2025. Sebab rata-rata APBD daerah sudah ketuk palu, oleh karena itu perlu pengalihan anggaran melalui APBD Perubahan. Namun, kita juga harus tahu bahwa hampir seluruh daerah punya ketergantungan terhadap pusat dalam hal keuangan.
Berdasarkan data, sekitar 62 persen pemerintah kabupaten/kota di Indonesia memiliki ketergantungan fiskal yang sangat tinggi terhadap pemerintah pusat. Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan, sekitar 88,07 persen dari total 503 pemerintah daerah di Indonesia belum mandiri dalam mengelola APBD dan masih bergantung pada transfer dana dari pemerintah pusat.
Pemerintah daerah yang memiliki ketergantungan yang tinggi pada dana transfer dari pemerintah pusat mungkin tidak memiliki anggaran yang cukup untuk memberikan modal kepada KMP. Karena pemerintah daerah harus memprioritaskan penggunaan anggarannya untuk kebutuhan lain yang lebih mendesak, seperti infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan penanggulangan bencana alam. Dan juga program-program janji politik para pemimpin daerah.
Jika pemerintah daerah tidak dapat memberikan modal yang cukup kepada Kopdes Merah Putih (KMP), maka kemungkinan besar KMP tidak akan dapat berkembang dengan baik dan memberikan manfaat yang diharapkan bagi masyarakat desa sebagaimana yang digembar
gemborkan para pemangku kepentingan. Pada akhirnya KMP akan mencari sumber modal lain, seperti pinjaman dari bank atau investor, yang dapat meningkatkan risiko yang sistemis jika bank dipaksakan untuk ikut mendanai.
Wakil Menteri Koperasi (Wamenkop), Ferry Juliantono, menyebut dengan modal yang digelontorkan lebih kurang Rp400 triliun ke KMP, keuntungan yang didapat bisa lima kali lipat. Apa saya harus teriak “Waoww…….” (Dalam hati: “Bisnis apa yang mengalahkan akal sehat?” Ini koperasi lho. Baru netas lagi.. Saya tersenyum..) – Ingat: Prinsip koperasi bukan mengejar keuntungan (profit motive), tetapi mengutamakan pelayanan untuk kesejahteraan anggota. Itu prinsip koperasi..!
“Harapannya dalam jangka dua tahun, dari Rp400 triliun yang dikucurkan itu bisa di-leverage menjadi Rp2.000 triliun,” harap Ferry. (Sepertinya saya harus teriak: “Waaoowww….!!”)
Menurut saya, logika berpikir Wamenkop itu eror (Maaf harus saya sampaikan). Bagaimana cara menghitung rasionalitas keuntungan Rp2.000 triliun dengan modal Rp400 triliun. Sungguh hal yang muskil. Tidak logis.. dan tidak masuk akal…!!
Mari kita main hitung-hitungan ala anak Paud belajar matematika, sebelum melangkah pada level sarjana.
Rasio keuntungan terhadap modal sebagaimana disampaikan Wamenkop adalah Rp2.000 triliun / Rp400 triliun = lima kali lipat dari modal. Ini berarti keuntungan yang sangat besar yang tidak biasa dalam bisnis.
Cara menghitung keuntungan yaitu: keuntungan dihitung dengan cara: Total Pendapatan dikurangi Total Biaya. Jika kita asumsikan Total Pendapatan adalah X, maka:
Keuntungan = X – Total Biaya
Jika keuntungan adalah Rp2.000 triliun dari modal Rp400 triliun, maka total pendapatan harus sangat besar untuk mencapai keuntungan sebesar itu. Karena keuntungan adalah komponen dari pendapatan. Bayangkan berapa kira-kira total pendapatan yang akan diperoleh KMP versi Wamenkop(?) Sedangkan koperasi yang sudah eksis puluhan tahun mengelola bisnisnya pun, belum bisa mencapai itu, apalagi KMP yang baru berdiri.. (apakah logika saya yang belum sampai pada pemikiran Wamenkop?) Entahlah…
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keuntungan
1. Margin keuntungan: Makin tinggi margin keuntungan, maka makin besar keuntungan yang dapat diperoleh.
2. Volume penjualan: Makin besar volume penjualan, maka makin besar pendapatan yang dapat diperoleh.
3. Efisiensi biaya: Makin efisien biaya, maka makin besar keuntungan yang dapat diperoleh. Itu hukum baku dalam menghitung pendapatan dan keuntungan.
Keuntungan Rp2.000 triliun dengan modal Rp400 triliun sangat tidak rasional jika tidak ada penjelasan yang komprehensif tentang bagaimana keuntungan tersebut diperoleh. Pertanyaannya: bagaimana tata kelolanya, apa bisnis modelnya, sebesar apa margin keuntungannya, sebesar apa volume penjualannya, dan bagaimana melakukan efisiensi
biayanya, agar kita dapat memahami bagaimana keuntungan sebesar itu dapat diperoleh? (“mikirrr…..” kata Cak Lontong)