• Redaksi
  • Tentang Kami
  • Kebijakan Hak Cipta
  • Privacy Policy
Senin, 15 September 2025
Kirimi Artikel Yukk  
www.jelajah.co
No Result
View All Result
  • Pemerintahan
  • Politik
  • Pendidikan
  • Kesehatan
  • Nusantara
    • Aceh
    • Babel
    • Bali
    • Banten
    • Bengkulu
    • Gorontalo
    • Jabar
    • Jakarta
    • Jambi
    • Jateng
    • Jatim
    • Kalbar
    • Kalsel
    • Kaltara
    • Kalteng
    • Kaltim
    • Kepri
    • Lampung
    • Maluku
    • Malut
    • NTB
    • NTT
    • Papua
    • Riau
    • Sulbar
    • Sulsel
    • Sulteng
    • Sultra
    • Sulut
    • Sumbar
    • Sumsel
    • Sumut
    • Yogyakarta
  • Sudut Pandang
  • E-Paper
  • Pemerintahan
  • Politik
  • Pendidikan
  • Kesehatan
  • Nusantara
    • Aceh
    • Babel
    • Bali
    • Banten
    • Bengkulu
    • Gorontalo
    • Jabar
    • Jakarta
    • Jambi
    • Jateng
    • Jatim
    • Kalbar
    • Kalsel
    • Kaltara
    • Kalteng
    • Kaltim
    • Kepri
    • Lampung
    • Maluku
    • Malut
    • NTB
    • NTT
    • Papua
    • Riau
    • Sulbar
    • Sulsel
    • Sulteng
    • Sultra
    • Sulut
    • Sumbar
    • Sumsel
    • Sumut
    • Yogyakarta
  • Sudut Pandang
  • E-Paper
No Result
View All Result
Jelajah.co
No Result
View All Result
  • Pemerintahan
  • Politik
  • Pendidikan
  • Kesehatan
  • Nusantara
  • Sudut Pandang
  • E-Paper
Home Sudut Pandang

Pemisahan Pemilu: Koreksi Sistemik Demi Demokrasi yang Lebih Sehat

Redaksi by Redaksi
18 Juli 2025
in Sudut Pandang
A A
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Kausar Jumahir Lesen
(Ketua Lembaga Pemantau PEMILU NETFID Provinsi Lampung)

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 membawa babak baru dalam sejarah sistem pemilu Indonesia. MK memutuskan bahwa pemilu nasional (Presiden-Wakil Presiden, DPR RI, dan DPD RI) harus dipisahkan jadwalnya dari pemilu lokal (Pilkada dan DPRD provinsi/kabupaten/kota), dimulai pada Pemilu 2029 mendatang.

Putusan ini merupakan koreksi atas pelaksanaan pemilu serentak lima kotak yang diberlakukan pada 2019 lalu. Pemilu 2019 mencatatkan sejarah kelam: 894 petugas KPPS meninggal dunia dan ribuan lainnya jatuh sakit akibat kelelahan saat menangani lima jenis pemilihan sekaligus dalam satu hari (Kompas, 23 April 2019). Ini menjadi alarm keras bahwa efisiensi prosedural tidak bisa mengorbankan keselamatan penyelenggara pemilu.

BACA JUGA

Lampung Tunjukkan Wajah Damai Unjuk Rasa

1 September 2025

Demokrasi Indonesia di Ujung Tanduk: Saatnya Reformasi Total

30 Agustus 2025

Dalam pertimbangannya, MK menyampaikan lima alasan utama atas putusan pemisahan jadwal ini. Pertama, untuk mengurangi beban kerja petugas pemilu. Model lima kotak terbukti memberatkan secara fisik dan mental. Kedua, pemisahan diyakini akan meningkatkan kualitas penyelenggaraan karena pelaksana pemilu bisa fokus pada tahapan yang lebih spesifik dan terstruktur. Ketiga, pemisahan jadwal memperkuat sistem presidensial. Pilkada yang digelar bersamaan dengan Pilpres berisiko mengacaukan stabilitas politik daerah akibat efek tarik-menarik kepentingan pusat dan lokal.

Keempat, dari sisi pembiayaan, pemilu yang dipisah dianggap lebih efisien. Anggaran bisa dialokasikan dengan lebih bijak sesuai konteks pemilu nasional maupun lokal. Dan kelima, aspek perlindungan hak pilih rakyat. Pemilih tidak lagi dibebani memilih lima calon dalam satu waktu, yang selama ini rawan menyebabkan kebingungan, kejenuhan, bahkan salah pilih karena kelelahan saat di TPS.

Konsekuensi dari putusan ini sangat besar. Pemilu lokal yang sebelumnya diserentakkan, kini akan dilangsungkan 2 hingga 2,5 tahun setelah pemilu nasional. Jika pemilu nasional berlangsung Februari 2029, maka pilkada akan dilaksanakan antara Februari hingga Agustus 2031. Artinya, akan ada masa transisi yang perlu dikelola secara cermat.

Salah satu persoalan utama adalah soal masa jabatan kepala daerah dan DPRD hasil Pilkada 2024. Jika mengikuti siklus baru, maka masa jabatan mereka akan diperpanjang hingga 2031, lebih dari lima tahun. Atau, pemerintah dapat memilih untuk menggelar pilkada lebih awal, misalnya pada 2027, agar sesuai dengan ritme baru yang diatur MK. Ini menimbulkan perdebatan: mana yang lebih adil dan konstitusional?

Penulis berpandangan bahwa jika masa jabatan kepala daerah dan DPRD diperpendek demi menyesuaikan jadwal baru, maka negara harus memberikan kompensasi penuh terhadap hak-hak keuangan dan administratif mereka. Ini sebagai bentuk penghargaan terhadap mandat rakyat yang telah diberikan secara sah. Solusi ini juga penting untuk menjaga stabilitas politik serta menghindari resistensi dari pejabat yang merasa haknya dipangkas secara sepihak.

Sebaliknya, jika pemerintah memilih memperpanjang masa jabatan hingga 2031, maka harus disiapkan argumentasi konstitusional dan politik yang kuat. Dalam sejarah Indonesia, masa jabatan yang lebih pendek pernah terjadi, seperti pada Pemilu 1999 yang digelar dua tahun setelah Pemilu 1997. Oleh karena itu, memperpendek masa jabatan bukanlah hal baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia, dan secara historis dapat dibenarkan.

Putusan MK ini tentu menuai pro-kontra. Sebagian pihak menganggap MK telah melampaui kewenangannya dengan “mendikte” jadwal pemilu, yang seharusnya menjadi kewenangan legislator dan pemerintah. Namun perlu diluruskan bahwa MK tidak sedang menyusun kebijakan teknis, melainkan menjalankan fungsinya sebagai pengawal konstitusi. MK ingin memastikan bahwa pelaksanaan pemilu berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi substantif yang sehat dan berkeadilan.

Pemisahan jadwal ini bukan sekadar soal waktu, tetapi juga tentang kualitas demokrasi. Dalam sistem serentak, banyak kepala daerah “terbawa arus” karena efek elektoral dari capres atau partai besar. Dalam sistem terpisah, pemilu lokal menjadi lebih mandiri. Kandidat akan diuji berdasarkan program, rekam jejak, dan integritas pribadi, bukan karena pengaruh tokoh nasional semata. Ini akan memperkuat kontestasi politik lokal dan menghidupkan kembali semangat demokrasi yang lebih dekat dengan rakyat.

Penulis mendukung langkah MK ini sebagai koreksi penting demi demokrasi yang lebih manusiawi. Namun, masa transisi ini harus dikelola dengan adil dan hati-hati. Solusi terbaik harus disiapkan untuk pejabat yang terdampak, agar tidak muncul anggapan bahwa mereka dikorbankan oleh perubahan sistem.

Seperti yang ditegaskan Ketua MK Suhartoyo, “Putusan ini bukan kemunduran demokrasi, tetapi koreksi terhadap sistem yang terlalu memaksakan efisiensi prosedural dengan mengabaikan beban manusiawi” (CNN Indonesia, 30 Mei 2024).

Sudah saatnya publik dan pembuat kebijakan memandang putusan ini sebagai momentum perbaikan. Demokrasi bukan hanya soal teknis pencoblosan, tetapi juga menyangkut keselamatan, kualitas pilihan, dan penghormatan terhadap proses politik yang adil dan akuntabel. Pemilu yang sehat hanya bisa terwujud jika sistemnya juga sehat.

Previous Post

Pungli Berkedok Rumah Makan, Oknum TNI Diduga Palak Sopir Truk Batu Bara

Next Post

Dua Bos Besar SGC Dicekal, Kejagung RI Peroleh Apresiasi

Redaksi

Redaksi

Redaksi www.jelajah.co

BERITA POPULER

Suara Perlawanan Teladas: Menantang Raksasa Tebu SGC

17 Agustus 2025

Dikembalikan ke Kursi Lama: Kisah Seorang Pejabat Perikanan yang Tenang Meski Tersisih

25 Agustus 2025

Gemparin Desak Pemkot Tutup Tempat Hiburan Malam Pasca Penggerbekan “Pesta Narkoba” Pengurus HIPMI Lampung

5 September 2025

Lampung Tunjukkan Wajah Damai Unjuk Rasa

1 September 2025

Reforma Agraria Jadi Sorotan, Mahasiswa Lampung Desak Ukur Ulang HGU PT SGC

1 September 2025

Permainan Sandiwara Sosial Media Para Pejabat Publik

23 Agustus 2025
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Kebijakan Hak Cipta
  • Privacy Policy

© 2024 JELAJAH.CO - All Rights Reserved.

No Result
View All Result
  • Pemerintahan
  • Politik
  • Pendidikan
  • Kesehatan
  • Nusantara
    • Aceh
    • Babel
    • Bali
    • Banten
    • Bengkulu
    • Gorontalo
    • Jabar
    • Jakarta
    • Jambi
    • Jateng
    • Jatim
    • Kalbar
    • Kalsel
    • Kaltara
    • Kalteng
    • Kaltim
    • Kepri
    • Lampung
    • Maluku
    • Malut
    • NTB
    • NTT
    • Papua
    • Riau
    • Sulbar
    • Sulsel
    • Sulteng
    • Sultra
    • Sulut
    • Sumbar
    • Sumsel
    • Sumut
    • Yogyakarta
  • Sudut Pandang
  • E-Paper

© 2024 JELAJAH.CO - All Rights Reserved.