Bandarlampung, Jelajah.co – Ekonomi Indonesia diibaratkan tubuh yang telah melewati serangkaian peradangan. Luka-luka yang muncul selama 2023–2024 akibat inflasi, perlambatan pertumbuhan, dan tekanan global kini coba diobati dengan balsam berupa kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen untuk tahun 2025. Tapi, apakah balsam ini cukup menyembuhkan, atau hanya menutupi luka yang terus bernanah?
Rasa Nyeri yang Tak Pernah Hilang
Kenaikan UMP ibarat obat sementara. Rasa nyeri—yakni kesenjangan antara kebutuhan hidup layak pekerja dan kemampuan pengusaha—sebenarnya tidak benar-benar hilang. Buruh terus menuntut haknya atas penghidupan yang lebih baik, sementara pengusaha bergulat dengan tekanan biaya yang tak kunjung reda.
“UMP ini hanya meredakan sakit sebentar, tapi luka-luka ekonomi akibat inflasi dan perlambatan pertumbuhan tidak bisa sembuh hanya dengan kenaikan 6,5 persen,” ujar seorang pengamat ekonomi Lampung yang tidak ingin disebutkan namanya.
Faktanya, bagi banyak buruh, kenaikan ini tidak lebih dari harapan yang sering kali sulit diwujudkan di lapangan. Dunia usaha, terutama sektor UMKM, sering kali mencari cara untuk menghindari penerapan penuh kenaikan upah, entah melalui penundaan, negosiasi ulang, atau bahkan pengurangan tenaga kerja.
Balsam untuk Luka Ekonomi yang Lebih Dalam
Bagi pengusaha kecil dan menengah, kenaikan 6,5 persen ini tidak hanya menambah tekanan biaya produksi tetapi juga membuka risiko baru. Banyak di antara mereka mengibaratkan kenaikan ini seperti menutupi luka dengan plester tanpa benar-benar mengobati infeksi yang ada.
“Balsam 6,5 persen ini mungkin terlihat membantu, tapi di balik itu ada luka dalam yang harus kami tanggung. Jika tidak ada kebijakan pendukung seperti subsidi atau insentif, kami hanya akan makin terpuruk,” ungkap seorang pelaku usaha di Lampung.
Melangkah di Atas Luka
Ironisnya, luka ekonomi ini tidak hanya dirasakan oleh buruh atau pengusaha. Pemerintah pun berada di posisi sulit. Di satu sisi, mereka harus menjaga daya beli masyarakat. Di sisi lain, mereka tidak bisa mengabaikan keberlanjutan usaha, terutama di tengah ancaman perlambatan ekonomi global.
Kenaikan UMP 6,5 persen ini, meski terdengar sebagai langkah maju, lebih menyerupai tambal sulam untuk menghindari masalah jangka pendek. Luka ekonomi yang lebih dalam masih menunggu perhatian serius—bukan hanya dari sisi kebijakan upah, tetapi juga dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Penutup Luka atau Awal Luka Baru?
Dengan 6,5 persen ini, buruh mungkin mendapat sedikit kelegaan, tetapi belum tentu kebijakan ini mampu menciptakan harmoni yang dibutuhkan. Alih-alih menyembuhkan, balsam ini berisiko membuka luka baru yang lebih menyakitkan bagi semua pihak.
Saat kita melangkah ke tahun 2025, ekonomi Lampung membutuhkan lebih dari sekadar balsam. Kita membutuhkan penyembuhan nyata yang mampu menjahit luka-luka ini dengan solusi jangka panjang. (Aby)