Oleh: (A. Zahriansyah)
Di sebuah ruangan yang kini sunyi, papan nama “Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Pesawaran” masih tergantung rapi. Namun sosok yang biasanya duduk di balik meja itu, Anggun Saputra, telah disingkirkan. Tanpa upacara. Tanpa penjelasan.
Pencopotan Anggun dari jabatannya bukan sekadar pergantian biasa. Ada jejak administratif yang samar, prosedur hukum yang seolah dilompati, dan yang paling mencolok diam seribu bahasa dari para pengambil kebijakan.
Sejak awal Juli 2025, bisik-bisik pergeseran jabatan sudah mulai terdengar. Namun publik baru benar-benar mencium kejanggalan ketika Anggun tak lagi tampak dalam acara-acara dinas. Ketika dikonfirmasi ke kantor Dinas Pariwisata, staf menjawab singkat: “Sudah diganti, tapi belum tahu siapa Plt-nya.”
Ketika Pertanyaan Berbalik Menjadi Sunyi
Senin pagi, 21 Juli 2025. Tim media ini mengirimkan sepuluh pertanyaan resmi ke dua pejabat kunci: Sekretaris Daerah (Sekda) Pesawaran, Wildan, dan Kepala BKD, Awaluddin. Pertanyaannya sederhana namun substantif: Apakah pencopotan ini telah sesuai prosedur? Apakah ada izin dari Kementerian Dalam Negeri seperti yang diamanatkan Pasal 71 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016? Siapa yang menilai kinerja Anggun?
Respons yang diterima hanya berupa centang biru. Lalu satu centang. Lalu sunyi.
Bagi kami, wartawan, ini bukan sekadar tidak dibalas. Ini adalah bentuk kegagalan komunikasi publik yang disengaja. Birokrasi tidak sedang sibuk. Birokrasi sedang memilih diam. Dan dalam dunia pemerintahan, diam adalah sinyal.
Legalitas yang Dipertanyakan
Dugaan pelanggaran mulai menguat ketika redaksi mendapatkan informasi bahwa SK pencopotan bertanggal 3 Juli 2025. Padahal, Pemkab Pesawaran kala itu masih berada dalam proses Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada. Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2016, kepala daerah dilarang mengganti pejabat 6 bulan sebelum penetapan pasangan calon hingga akhir masa jabatan, kecuali mendapat persetujuan dari Mendagri.
Apakah izin dari Mendagri sudah dikantongi? Tidak ada bukti yang menunjukkan itu.
“Kalau itu benar dilakukan tanpa izin Mendagri, maka SK itu cacat hukum,” ujar praktisi hukum Antoni AT saat kami hubungi. “Dan lebih dari itu, ini bisa masuk ranah pelanggaran etika pemerintahan,” lanjutnya.
Evaluasi atau Eksklusi?
Lalu timbul pertanyaan mendasar: apa dasar pencopotan Anggun? Apakah karena kinerja buruk? Atau karena loyalitas politik yang diragukan pasca PSU?
Seorang sumber internal BKD (yang meminta identitasnya dirahasiakan) menyebut bahwa TPK (Tim Penilai Kinerja) tidak pernah dilibatkan secara formal dalam evaluasi jabatan Anggun. “Kami hanya mendengar kabar bahwa keputusan sudah diambil sebelum ada rapat resmi.”
Jika benar, maka bukan hanya prosedur yang dilangkahi, tapi juga prinsip merit system yang selama ini diperjuangkan dalam reformasi birokrasi.
ASN Tanpa Arah
Hingga kini, belum ada penugasan baru bagi Anggun Saputra. Statusnya mengambang. Tidak lagi menjabat kepala dinas, tapi juga tidak dipindahkan ke posisi lain. Ia masih ASN, tapi tanpa peran.
Kondisi ini sangat bertentangan dengan prinsip efisiensi dan efektivitas tata kelola aparatur. Negara membayar gaji, namun tak memberinya fungsi.
“Ini jelas bentuk pembiaran. ASN tidak boleh diparkir seenaknya,” kata Yulius Sendesta, advokat spesialis hukum administrasi negara. “Kalau tidak segera ditugaskan, ini bisa dilaporkan ke Komisi ASN.”
Ketika Birokrasi Tak Netral
Polemik ini bukan hanya soal jabatan. Ini soal wajah birokrasi di daerah. Apakah netral? Apakah taat hukum? Atau telah menjadi perpanjangan tangan elite politik yang baru naik?
Di balik pencopotan yang sunyi ini, publik tengah diajak menebak arah. Pemerintahan baru (hasil PSU) belum sepenuhnya dilantik, tapi perubahan sudah mulai bergerak. Dan salah satu yang terkena adalah kepala dinas yang selama ini dikenal loyal.
Bila pola ini dibiarkan, maka ASN akan kehilangan pegangan. Mereka tidak lagi bekerja demi rakyat, tapi demi kelangsungan jabatan dalam pusaran kekuasaan.
Akhir yang Menggantung
Kantor Dinas Pariwisata kini seperti kapal yang kehilangan nakhoda. Beberapa program yang disusun Anggun tahun ini, menurut informasi staf, belum ada kejelasan apakah akan dilanjutkan atau dibatalkan.
Publik menanti kejelasan. Tapi Pemkab Pesawaran tetap memilih bungkam. Dan dalam senyap itu, birokrasi kehilangan cermin akuntabilitasnya.
Kapan Pemerintah Bicara?
Demokrasi lokal akan pincang bila pemerintahan berjalan dalam bayang-bayang. Pencopotan pejabat bukanlah persoalan kecil, apalagi jika dilakukan diam-diam, tanpa alasan, tanpa prosedur.
Pesawaran perlu jawabannya. Bukan sekadar siapa yang duduk di kursi kepala dinas, tapi juga bagaimana keputusan itu lahir, dan untuk siapa ia bekerja.
Sebab sekali prinsip transparansi diabaikan, maka kepercayaan publik hanya tinggal cerita.