Bandar Lampung, Jelajah.co – Puluhan eks karyawan Karang Indah Mall (KIM) dan Mall Kartini akhirnya bisa bernapas lega setelah dokumen ijazah yang sempat ditahan oleh pihak manajemen dikembalikan. Namun, di balik kabar baik itu, terselip syarat yang membuat banyak pihak mempertanyakan integritas dan legalitas penyelesaiannya: ijazah dikembalikan dengan syarat tidak boleh men“Kami diminta menandatangani surat pernyataan bahwa masalah ini dianggap selesai dan tidak akan dibawa ke jalur hukum,” ujar salah satu eks karyawan yang meminta namanya dirahasiakan, Minggu (6/7/2025).
Dalam lembar pernyataan itu, eks karyawan juga diminta menyatakan bahwa mereka tidak merasa dirugikan dan tidak memiliki tuntutan baik secara pidana maupun perdata terhadap manajemen.
Dalih Pemutihan, Rasa Tekanan yang Nyata
Direktur Legal Karang Indah Mall, Ican, membenarkan pengembalian ijazah tersebut. Ia menyebut langkah itu sebagai bagian dari “program pemutihan” yang disebut-sebut rutin dilakukan sejak Mall Kartini berdiri.
Namun istilah “pemutihan” yang seolah berkonotasi lunak itu, menurut pengacara publik dari LBH Ansor, justru berpotensi menyamarkan praktik pelanggaran ketenagakerjaan.
“Pemutihan bukan berarti penghapusan pelanggaran hukum. Jika sebelumnya ada penahanan dokumen tanpa dasar hukum dan disertai pungutan, maka itu tetap bisa dikategorikan pelanggaran,” tegas Sarhani, Ketua LBH Ansor Lampung.
Ijazah Dikembalikan, Tapi Diminta Membayar ‘Tebusan’
Pengakuan lebih lanjut datang dari eks karyawan yang mendatangi KIM pada 12 Juni lalu. Mereka mengaku diminta membayar Rp500 ribu per bulan masa kerja agar ijazah dikembalikan. Untuk yang bekerja selama sembilan bulan, total yang diminta mencapai Rp4,5 juta.
“Kami tidak pernah menyepakati adanya biaya seperti itu. Itu sepihak dan memberatkan,” ujar eks karyawan lain.
Pihak Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Bandar Lampung sebenarnya telah memfasilitasi mediasi pada 11 Juni 2025. Menurut Kepala Disnaker, M. Yudhi, perusahaan menyatakan akan mengembalikan ijazah dan membayar gaji tertunggak. Namun ia tidak mengetahui adanya pungutan maupun surat pernyataan larangan menuntut hukum.
“Kalau mereka tetap melapor ke polisi, itu di luar pengetahuan saya. Tapi mereka kan memang disarankan Wamenaker untuk melapor jika ada penahanan ijazah,” kata Yudhi.
Pelanggaran Sistemik, Bukan Kesalahpahaman
LBH Ansor menilai bahwa tindakan memungut uang tebusan dan membuat eks karyawan menandatangani surat pernyataan bebas tuntutan berpotensi sebagai intimidasi non-fisik yang menghalangi hak hukum seseorang.
“Pasal 53 Undang-Undang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pengusaha dilarang menahan dokumen asli milik pekerja. Jika hal itu terjadi, maka konsekuensinya adalah pidana,” kata Sarhani.
Apalagi jika ada unsur pemaksaan atau tekanan agar korban menandatangani surat pernyataan. “Dalam hukum perdata, pernyataan yang dibuat di bawah tekanan tidak sah,” tambahnya.
Tersandera Dua Kali: Oleh Dokumen, Oleh Sistem
Dalam situasi ini, para eks karyawan berada dalam posisi dilematis. Mereka membutuhkan ijazah untuk melamar pekerjaan baru, tapi harus menyetujui syarat sepihak agar dokumen dikembalikan. Ini bukan sekadar persoalan administrasi, tetapi penyanderaan sistematis terhadap hak dasar warga negara.
Laporan resmi dugaan pelanggaran ketenagakerjaan ini kini sedang ditangani oleh Polresta Bandar Lampung. Namun hingga kini belum ada kejelasan perkembangan penyidikan, termasuk soal pungutan tebusan ijazah yang sempat muncul dalam pengaduan.
Jalan Panjang Menuju Keadilan
Pengembalian dokumen, jika dilakukan di bawah syarat menghapus hak menuntut, justru memperkuat dugaan bahwa ada yang disembunyikan.
“Ini bukan sekadar ‘selesai baik-baik’, ini soal bagaimana kekuasaan perusahaan bisa membungkam suara korban melalui cara-cara administratif,” kata seorang aktivis buruh yang ikut mendampingi kasus tersebut.
LBH Ansor memastikan akan terus mengawal kasus ini. Tidak hanya untuk restitusi korban yang telah dirugikan, tapi juga sebagai upaya pencegahan agar praktik serupa tidak berulang di pusat-pusat perbelanjaan modern lainnya.
Sampai hari ini, ijazah mereka memang sudah kembali. Tapi luka dan rasa ketidakadilan belum sepenuhnya sembuh. Dan yang lebih penting: hukum belum bicara. (/Red)*