BEKASI, Jelajah.co – Dugaan praktik jual-beli trotoar di sepanjang Jalan Pondok Ungu Permai (PUP), Kelurahan Bahagia, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, memantik keresahan warga sekaligus kritik tajam terhadap lemahnya pengawasan pemerintah daerah. Ruang publik yang seharusnya menjadi hak pejalan kaki beralih menjadi kawasan komersil tanpa kendali, menandakan adanya masalah serius dalam tata kelola wilayah yang berdaulat atas hukum dan aturan.
Trotoar yang menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib diperuntukkan bagi keselamatan pejalan kaki, kini berubah fungsi menjadi lapak dagangan. Pedagang kaki lima (PKL) memenuhi hampir seluruh sisi trotoar, memaksa pejalan kaki turun ke badan jalan. Kondisi ini tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga menciptakan potensi kecelakaan yang nyata, terutama pada jam sibuk ketika arus kendaraan meningkat tajam.
Warga setempat mengeluhkan bahwa situasi tersebut kian parah ketika hujan. Selain rawan kecelakaan, bangunan liar di atas trotoar dan saluran irigasi memperburuk genangan karena air tidak mengalir dengan baik.
“Setiap hari kami harus berbagi jalan dengan motor dan mobil karena trotoar sudah penuh. Ini sangat bahaya, apalagi kalau bawa anak-anak,” ujar salah satu warga, Senin (8/12/2025).
Keluhan ini selaras dengan kewajiban pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah untuk menjamin kenyamanan, ketertiban, dan aksesibilitas publik.
Lebih jauh, muncul indikasi praktik ilegal berupa pungutan liar hingga jual-beli lapak yang nilainya disebut mencapai jutaan hingga puluhan juta rupiah. Informasi ini memantik dugaan pelanggaran serius terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi tentang Ketertiban Umum, serta berpotensi masuk ranah pidana sesuai ketentuan UU Tipikor apabila terbukti ada penyalahgunaan kewenangan atau keuntungan pribadi dari fasilitas publik.
“Bayar iuran harian ada, tapi kabarnya untuk lapak yang bagus ada ‘uang sewa’ tahunan ke oknum tertentu. Ini kan trotoar punya negara, kok bisa diperjualbelikan?” ungkap salah satu sumber.
Pernyataan ini menegaskan adanya pola terstruktur yang tidak mungkin berjalan tanpa pembiaran dari aparat wilayah atau oknum tertentu yang menikmati keuntungan dari kekacauan ini.
Sikap abai Lurah Bahagia dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sebagai penegak Peraturan Daerah turut menjadi sorotan publik. Padahal, keberadaan trotoar sebagai ruang publik adalah amanah konstitusi untuk menjamin hak-hak dasar warga negara. Ketidakhadiran tindakan penertiban membuat masyarakat mempertanyakan komitmen aparat terhadap prinsip pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab.
Nama Lurah Bahagia, Khoirul Anwar, S.STP., M.Si., yang sebelumnya masuk sebagai finalis PNS Berprestasi Future Leader Jawa Barat 2025, kini terbawa dalam pusaran kritik publik.
Salah satu aktivis kebijakan publik, Dedi, menegaskan bahwa prestasi tidak dapat berdiri di atas pembiaran pelanggaran. “Lurah seharusnya menjadi garda terdepan menjaga ketertiban publik. Jika praktik ilegal ini dibiarkan, patut diduga ada pembiaran. Jangan abai, segera tertibkan dan usut tuntas oknum yang terlibat,” tegasnya.
Persoalan ini bukan sekadar tentang pedagang, tetapi tentang lemahnya sistem tata kelola, pemanfaatan ruang publik, hingga potensi kerugian negara akibat pungli. Pemerintah Kabupaten Bekasi, khususnya Dinas Perhubungan dan Satpol PP, didesak melakukan langkah tegas sesuai amanat UU dan Perda, mulai dari penertiban berkelanjutan, normalisasi trotoar, hingga audit internal untuk menelusuri aliran pungutan ilegal.
Pada akhirnya, ruang publik adalah wajah martabat kota. Ketika trotoar diperjualbelikan, maka yang terjual bukan hanya ruang pejalan kaki, tetapi juga integritas pemerintah daerah. Bekasi membutuhkan ketegasan, bukan pembiaran. Membutuhkan kepemimpinan visioner yang menegakkan hukum, bukan sekadar predikat dan penghargaan.
(CP/red)








