Oleh: Muhammad Julianto
(S2 PPKn Universitas Negeri Yogyakarta / Awardee LPDP Kemenkeu)
Calon Ketua PERMADANIDIKSI KIP Kuliah Nasional
Ketika dunia menghadapi krisis pangan global dan dampak perubahan iklim makin nyata, Indonesia tidak bisa hanya berpangku tangan. Kita perlu langkah-langkah nyata dan terukur. Tapi siapa sangka, justru dari kampus dan desa, harapan baru itu bisa tumbuh. Inilah yang mendasari gagasan “Gerakan Peduli Pangan” (GPP) sebuah inisiatif kolaboratif berbasis kampus dan komunitas desa yang saya dorong sebagai kontribusi generasi muda, terutama mahasiswa Bidikmisi/KIP Kuliah, dalam menciptakan kedaulatan pangan nasional.
GPP bukan sekadar ajang tanam-menanam atau program jangka pendek. Ini adalah gerakan perubahan. Ia hadir sebagai blueprint kolaboratif berbasis tiga pilar utama: Urban Farming Kampus, Food Garden Komunitas, dan Digital Agropreneurship.
Lahan Kampus Tak Lagi Kosong
Bayangkan halaman belakang kampus bukan lagi hamparan rumput liar, tapi kebun rempah, sayuran, bahkan tanaman pangan lokal. Melalui Urban Farming Kampus, setiap perguruan tinggi didorong membangun laboratorium hijau yang bisa menjadi tempat belajar langsung tentang pertanian, gizi, hingga manajemen pangan. Ini bukan hanya soal ketahanan pangan, tapi juga soal membentuk karakter mahasiswa: mandiri, inovatif, dan solutif.
Mahasiswa Turun ke Desa, Hidupkan Lahan Terlantar
Lewat pilar kedua, Food Garden Komunitas, mahasiswa tak lagi berkutat di ruang kelas semata. Mereka turun ke desa, bekerja sama dengan petani lokal, menghidupkan kembali lahan-lahan yang selama ini tidur. Ini bukan hanya soal menanam, tapi soal transfer pengetahuan, pemberdayaan, dan tumbuhnya ekonomi rakyat dari akar rumput. Dalam skema ini, mahasiswa belajar tentang kerja nyata dan masyarakat mendapat mitra perubahan.
Saatnya Digitalisasi Pertanian
Sementara itu, pilar ketiga, Digital Agropreneurship, menjawab tantangan zaman: bagaimana pertanian tidak ketinggalan dari revolusi teknologi? Melalui pelatihan penggunaan drone, aplikasi deteksi hama berbasis AI, hingga pemasaran e-commerce langsung dari petani ke pasar, mahasiswa menjadi penggerak pertanian digital. Dengan begitu, hasil panen bisa bernilai tinggi dan menjangkau pasar yang lebih luas.
Gerakan ini juga merupakan bentuk tanggung jawab sosial mahasiswa penerima beasiswa negara. Bukan hanya bersyukur secara pasif, tetapi menunjukkan balas budi melalui kontribusi aktif. Mahasiswa tidak boleh hanya jago bicara teori di kelas atau bersorak di mimbar, tetapi harus berani turun tangan dan menghadirkan solusi konkret untuk negeri.
Untuk mewujudkannya, kami menaruh harapan besar pada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sekaligus Menko Pangan, Bapak Zulkifli Hasan. Dukungan kelembagaan, akses pendanaan, sinergi antara kampus–pemerintah–swasta, dan penyelarasan program seperti Food Estate dan Kartu Petani Milenial akan menjadi energi besar yang mampu memperluas dan mempercepat dampak GPP.
Menanam Harapan, Menuai Masa Depan
Gerakan ini bukan sekadar urusan menanam sayur. Ini tentang menanam karakter kepemimpinan, merawat semangat kolaborasi, dan menuai masa depan yang berkelanjutan. Di tengah krisis pangan dan ancaman ketergantungan impor, kita tak bisa hanya mengandalkan petani atau pemerintah. Mahasiswa harus berdiri di garis depan perubahan, dari kampus, desa, hingga pasar digital.
Saya mengajak seluruh elemen mahasiswa, khususnya para penerima Bidikmisi/KIP Kuliah, civitas akademika, dan para mitra di sektor pertanian untuk bersatu.
Mari buktikan bahwa kita bukan sekadar generasi digital native, tetapi juga solution maker bagi bangsa. Dari kampus, dari desa, dari tangan-tangan mahasiswa kedaulatan pangan Indonesia bisa kita bangun bersama.