Oleh : Junaidi Jamsari
Setelah sembilan hari kita menjalani ibadah puasa apakah aktivitas Ramadhan yang kita lakukan masih sama dengan sebelumnya?, apakah keimanan kita, ketakutan kita akan azab-Nya, kerinduan kita akan keridhaan-Nya, dan ketaatan kita kepada syariah-Nya meningkat?. atau berlalu begitu saja bagaikan tapak kaki di padang pasir lenyap tersapu angin semilir.
Ramadhan seakan hanya menjadi masa cuti dari kemaksiatan. Jika saat Ramadhan ramai-ramai menyucikan harta dengan mengeluarkan zakat infaq dan shodaqoh. Pasca Ramadhan praktik riba, korupsi penipuan dan transaksi haram kembali ramai-ramai dijalankan.
Padahal tiada perintah ibadah dihadapan Allah yang harapannya kepada manusia sangat banyak kecuali ibadah puasa. Secara kuantitatif yang harus dicapai oleh orang yang berpuasa yaitu; la’allakum tattaquun, la’allakum tasykurun, dan la’allakum yarsyudun. Dalam tafsir The Holly Quran oleh Maulana Muhammad Ali, kata tattaquun diartikan yang menjaga diri dari kejahatan.
Ingat hidup ini terbatas waktunya kita akan kembali kehadirat-Nya, segala yang kita lakukan kelak akan dipertanggungjawabkan.
Puasa disamping bertujuan meninggikan akhlak, juga mempunyai tujuan lain yaitu, agar kaum Muslimin membiasakan diri mengalami kesukaran dan kesengsaraan jasmani untuk mengejar kebahagiaan sejati dan abadi.
Membangun masyarakat utama
Problem besar peradaban bangsa yang belum kunjung selesai adalah masalah ketidakharmonisan dalam kehidupan
berbangsa dan berkebudayaan. Kita masih sering menyaksikan banyak anak bangsa yang gemar berkelahi, saling mencaci, mencela, hingga kekerasan fisik.
Manusia lawan manusia terjadi hampir dalam seluruh aspek kehidupan kebudayaan. Baik dalam aspek keagamaan, mata pencaharian (ekonomi), politik, pendidikan, hukum maupun dalam aspek teknologi dan kesenian.
Disharmoni budaya akan menjadi
“bid’ah peradaban” yang berbahaya, sekali lagi, akan berbahaya, sebab bukan saja akan meruntuhkan dasar-dasar
karakter kebangsaan, melainkan juga akan mengakibatkan terganggunya
proses demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam perwujudan peradaban masyarakat utama.
Dalam konteks ini, dakwah sebagai upaya rekonstruksi sosial ke arah perwujudan masyarakat utama, perlu merespon secara serius problem peradaban bangsa tersebut.
Pilar Nilai Keutamaan Masyarakat
Ada tiga pilar penting masyarakat utama. Pertama, orientasi pada nilai-nilai keutamaan (al-khair); kedua, berjalannya mekanisme amar ma’ruf nahi munkar; dan ketiga, transendensi (tu ‘minuna billah) atau orientasi ketuhanan dalam Al-Qur’an, al-khair adalah konsep kebajikan komprehensif yang mencakup segala hal yang dipandang bernilai tinggi atau utama. Al-Qur’an banyak menyebut nilai-nilai keutamaan ini.
Antara lain, disebutkan dalam surat Al-An’am [6]: 151-153, berikut:
“Katakanlah: Mari kubacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu.
Janganlah mempersekutukan-Nya
dengan apapun; dan berbuatlah baik kepada ibu-bapakmu; janganlah
membunuh anak-anakmu karena dalih kemiskinan. Kami memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.
Janganlah melakukan perbuatan keji
yang terbuka ataupun yang tersembunyi; janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan adil dan menurut hukum. Demikian Dia memerintahkan kamu supaya kamu mengerti. Janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali untuk memperbaikinya dengan cara yang lebih baik, sampai ia mencapai usia dewasa. Penuhilah takaran dan neraca dengan adil; Kami tidak membebani seseorang kecuali menurut kemampuannya; dan bila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya sekalipun mengenai kerabat; dan penuhilah janji dengan Allah. Demikianlah Dia memerintahkan kamu supaya kamu ingat”, Dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan. janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), sehingga mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu, diperintahkan oleh
Allah kepadamu agar kamu bertakwa.”
Muhammad Syahrur dalam karyanya Iman dan Islam dan juga M. Quraish Shihab dalam karyanya Tafsir al-Misbah, merinci nilai-nilai keutamaan di atas menjadi sepuluh wasiat Tuhan. Wasiat pertama adalah tauhid, lâ tusyrikû bihi syai’a
(janganlah kamu mempersekutukan-
Nya dengan apa pun). Wasiat kedua, berbuat baik kepada kedua orang tua (wa bi al-wâlidaini ihsâna). Wasiat ketiga, jangan membunuh anak karena takut miskin (wa lâ taqtulû awlâdakum min imlâq). Wasiat keempat, jangan mendekati kekejian, baik yang tampak ataupun tersembunyi (wa lâ taqrabu al-fawâhisya mâ zhahara minhâ wa mâ bathana). Wasiat kelima, jangan membunuh jiwa yang diharamkan Allah, kecuali dengan sebab yang benar (wa lâ taqtulû al-nafsa al-ladzi harrama Allâhu illa bi al-haq). Wasiat keenam, jangan mendekati harta anak yatim kecuali demi kebaikan (wa lá taqrab mâla al-yatima illa bi al-lati hiya ahsan). Wasiat ketujuh, memenuhi takaran dan timbangan dengan adil (wa awfû al-kayla wa al-mizâna bi al-qisthi). Wasiat kedelapan, berkata yang adil walaupun kepada kerabat (wa idza qultum fa’ dilû walaw kâna dzâ qurbâ). Wasiat kesembilan, memenuhi janji Allah (wa bi ‘ahdi Allâhi awfûi). Wasiat kesepuluh, mengikuti jalan Tuhan dan tidak mengikuti jalan-jalan yang lain (wa anna hadzâ shirâthi mustaqimâ fa al-tabi uhu wa lâ tattabi’û al-subula).
Syaikh Thahir Ibn tsur menjelaskan tiga hukum (norma) sosial yang terkandung dalam rangkaian ayat di atas. Pertama, norma kemaslahatan publik (ishláh al-hâlat al-ijtima iyah al-âmah bain
al-nâs) yang diawali dengan wasiat larangan menyekutukan Allah sampai larangan membunuh jiwa yang diharamkan Allah. Kedua, norma pergaulan sosial (khifdz nizhâm
ta âmul al-nâs) yang dimulai dari wasiat larangan mendekati harta anak yatim secara tidak sah sampai memenuhi janji dengan Allah. Ketiga, norma umum untuk mengikuti jalan Islam (ittibâ’ thariq al-Islâm) seperti yang tercantum dalam wasiat terakhir “Bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia” (wa anna hâdzâ shirâthi mustaqimâ fa ‘tabiûni).
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa rangkaian ayat di atas menjelaskan sepuluh wasiat atau nilai-nilai keutamaan yang merupakan pilar penting dalam perwujudan suatu masyarakat utama. Larangan menyekutukan Allah mengandung tuntunan untuk melindungi fitrah kesucian manusia. Perlindungan fitrah ini sangat menentukan harkat dan martabat kemanusiaan. Perilaku syirik secara teologis merupakan dosa besar yang tidak terampuni, juga secara sosiologis mengakibatkan perendahan terhadap harkat martabat manusia.
Berbakti kepada orang tua dan larangan membunuh anak, merupakan tuntunan untuk perlindungan generasi. Hubungan orang tua dan anak, merupakan hubungan generasi sepanjang masa.
Tindak kedurhakaan kepada orang tua dan pembunuhan anak, bukan saja sebuah pelanggaran atas hak asasi kemanusiaan, tetapi akan mengakibatkan ketidakharmonisan antargenerasi sepanjang masa. Lebih jauh dari itu, ketidakharmonisan atau – konflik antargenerasi akan mengganggu jalannya kehidupan menuju masyarakat utama.
Wasiat keempat, jangan mendekati kekejian, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, merupakan prinsip masyarakat utama yang sangat penting dalam pemeliharaan kesucian diri. Segala bentuk kekejian moral (fawâhisy)
seperti mesum atau perzinahan akan berdampak pada pelanggaran norma kemanusiaan, yang dalam jangka panjang akan mengganggu jalannya proses perwujudan masyarakat utama.
Wasiat kelima, mengenai larangan pembunuhan jiwa yang diharamkan oleh Allah, jelas memberikan prinsip dasar dalam perlind gan jiwa (khifdz al-nafs). Wasiat ini lebih dikuatkan lagi oleh Rasul dalam pesannya ketika khutbah haji wada’.
Rasul menyatakan bahwa “Darah kamu dan harta-benda kamu sekalian adalah suci buat kamu, seperti hari ini dan bulan ini yang suci sampai datang masanya kamu sekalian menghadap Tuhan. Dalam Islam, prinsip kesucian hidup (life) ini sangat dijunjung tinggi. Membunuh satu orang sama artinya dengan membunuh semua manusia. Sebaliknya, menyelamatkan satu orang sama artinya dengan menyelamatkan semua manusia. Inilah spiritualitas kemanusiaan dalam Islam yang penting sebagai pilar masyarakat utama.
Wasiat selanjutnya adalah larangan mendekati harta anak yatim secara tidak sah, perintah memenuhi takaran dan timbangan secara adildan perintah untuk berkata adil/jujur.
Dalam perspektif masyarakat utama, wasiat atau nilai keutamaan tersebut memberikan tuntunan yang sangat penting untuk pemenuhan kesejahteraan dan penyerahan hak-hak kaum lemah yang membutuhkan bantuan secara jujur dan berkeadilan.
Dalam konteks perwujudan peradaban masyarakat utama, semua nilai-nilai keutamaan di atas, harus selalu mendapat penjagaan dan pengawasan dari masyarakat itu sendiri. Penjagaan dan pengawasan ini merupakan wujud implementasi praktis dari usaha amar ma’ruf nahi munkar, sekaligus sebagai manifestasi keimanan kepada Allah SwI. Dengan demikian, berjalannya mekanis amar ma’ruf nahi munkar dengan landasan keimanan (transendensi) menjadi pilar, sekaligus prasyarat penting lainnya dalam perwujudan masyarakat utama.
Inilah barangkali yang dimaksudkan oleh firman Allah sebagai bentuk khayr ummat atau masyarakat utama, yakni masyarakat yang berorientasi, berproses menuju dan memiliki kecenderungan pada nilai-nilai keutamaan (al-khayr), serta menjalankan mekanisme amar ma’ruf nahi munkar dengan penuh keimanan kepada Allah. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah (Q.s. Ali Imran [3]: 110).
Hendaknya kita dan anak kita untuk selalu berpegang teguhlah kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, Istiqomah dalam menghadapi kehidupan. Mantapkan ukhuwah Islamiyah, tekun melaksanakan ibadah.








