Oleh Indra Mustain, Ketua DPP AKAR Lampung
Jelajah.co – Kepemimpinan sejatinya adalah kemampuan untuk memahami dan menyelesaikan persoalan demi kesejahteraan masyarakat. Namun, di bawah kendali PJ Gubernur Lampung saat ini, harapan akan perbaikan justru menjelma menjadi sederet kegagalan yang mencolok di mata publik.
Salah satu bukti nyata adalah melonjaknya defisit dan utang Pemprov Lampung. Kebijakan yang diambil bukan hanya tidak efektif, melainkan memperburuk situasi finansial daerah. Bukan rahasia lagi, kondisi ini menunjukkan lemahnya perencanaan anggaran yang seharusnya menjadi prioritas utama.
Pengelolaan aset daerah pun tidak luput dari sorotan tajam. Aset-aset strategis yang semestinya menjadi penopang ekonomi daerah malah menjadi sumber konflik. Pemerintah terkesan abai dalam memastikan aset tersebut dikelola dengan baik dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat.
Di sisi lain, kinerja BUMD yang terus merugi mengindikasikan buruknya pengawasan pemerintah terhadap entitas bisnis yang seharusnya menjadi salah satu motor penggerak ekonomi daerah. Bukannya menyumbang pendapatan, BUMD malah menjadi beban anggaran.
Lebih ironis, kebijakan yang tidak populis terus menambah daftar panjang kegagalan. Konflik seputar impor tepung tapioka oleh perusahaan besar tanpa mengindahkan aturan yang berlaku menunjukkan lemahnya keberpihakan pemerintah terhadap petani lokal. Dampaknya, harga singkong anjlok dan memicu gelombang aksi petani. Bukannya hadir sebagai solusi, PJ Gubernur justru memilih “menghilang” dari sorotan.
Banjir yang melanda Lampung beberapa waktu lalu adalah bukti lain dari buruknya tata kelola lingkungan dan minimnya mitigasi bencana. Respons pemerintah terbilang lamban, sementara masyarakat terpaksa berjuang sendiri menghadapi dampak bencana. Bahkan, keberadaan gubernur saat bencana berlangsung menjadi teka-teki besar.
Masalah lainnya adalah kurangnya penyerapan aspirasi masyarakat. Konflik di Sugar Group Companies (SGC), yang dilaporkan oleh AKAR, hingga aksi berbagai elemen masyarakat lainnya, seakan dianggap angin lalu oleh pemerintah. Padahal, ini adalah cerminan bagaimana pemerintah gagal memahami kebutuhan rakyatnya.
Kebijakan soal Kota Baru pun tidak lebih dari sebuah proyek “mimpi di siang bolong.” Di tengah kondisi ekonomi yang kian sulit, kebijakan ini tampak tidak relevan dan hanya menjadi ambisi pribadi tanpa mempertimbangkan kenyataan di lapangan.
Tak berhenti di situ, polemik lelang jabatan, termasuk untuk kepala sekolah, memunculkan pertanyaan besar tentang integritas dan transparansi pemerintah. Protes publik yang muncul menunjukkan betapa lemahnya pengelolaan birokrasi yang hanya memicu ketidakpercayaan masyarakat.
Rangkaian kegagalan ini tidak bisa lagi dianggap sebagai persoalan teknis semata. Ini adalah cerminan dari kepemimpinan yang tidak mampu merespons tantangan dan kebutuhan masyarakat. Jika kondisi ini terus dibiarkan, Lampung akan terjebak dalam lingkaran masalah yang sama, tanpa ada perubahan signifikan.
Kepemimpinan bukan hanya tentang jabatan, tetapi tanggung jawab besar untuk mendengarkan, memahami, dan bertindak demi kepentingan rakyat. Sudah saatnya masyarakat Lampung bersuara lebih lantang agar pemerintahan ini segera tersadar dari tidur panjangnya. Red)