Oleh: (Cut Habibi)
“Whoever said money can’t solve your problems
Must not have had enough money to solve ‘em.” — (Ariana Grande, 7 Rings)
Ada benarnya juga lirik itu. Bukan karena kita sepakat bahwa uang adalah segalanya, tetapi karena kenyataan hari ini begitu sering membenarkannya. Di Indonesia, terlalu banyak masalah yang sebenarnya bisa selesai atau setidaknya terasa lebih ringan jika seseorang “punya cukup”. Cukup tabungan, cukup akses, cukup kuasa. Namun bagi sebagian besar rakyat, “cukup” itu justru menjadi kemewahan.
Di meja-meja birokrasi, kita belajar bahwa proses bisa cepat, bisa lambat, dan bisa mandek, semuanya tergantung pada variabel yang sering tak dituliskan dalam formulir: biaya yang tak selalu resmi. Di ruang-ruang pelayanan dasar, kita tahu betul bahwa janji akses universal sering kali berhenti di baliho, bukan di kenyataan.
Orang yang berpunya bisa memilih rumah sakit terbaik, sekolah terbaik, jalur tercepat, solusi tercepat. Sementara mereka yang tak berpunya berdoa agar tak sakit, tak terlambat, tak salah langkah.
Uang memang tak bisa membeli kebahagiaan, kata pepatah lama. Namun pepatah itu tampaknya lahir dari tempat yang terlalu nyaman, tempat di mana kebutuhan hidup tak lagi menjadi kecemasan harian. Bagi banyak orang, uang bukan soal gaya hidup; ia adalah perbedaan antara makan atau tidak, sekolah atau tidak, sehat atau tidak. Ia adalah garis tipis antara harapan dan putus asa.
Di tengah glamornya budaya flexing dan hidup serba cepat, kita semakin sering disuguhi ilusi bahwa semua orang bisa sukses jika cukup berusaha. Padahal realitas sosial kita tak sesederhana itu. Ada yang berangkat dari nol, ada yang berangkat dari minus, ada pula yang berangkat dari lantai paling atas. Tidak semua diberi pijakan yang sama.
Yang kaya tak selalu salah; yang miskin tak selalu benar. Persoalannya bukan itu. Persoalannya adalah: mengapa jurang itu semakin melebar, dan mengapa negara tampak makin sulit menjembataninya?
Kita hidup pada masa ketika uang memang bukan segalanya tetapi ia menentukan terlalu banyak hal.
Dan mungkin di titik inilah lirik Ariana Grande terasa menohok: bukan karena ia pamer, melainkan karena ia mengingatkan kita bahwa masalah-masalah besar dalam hidup sering kali bukan tentang ketidakmampuan, melainkan ketidaksetaraan.
Uang tidak seharusnya menjadi satu-satunya penentu kualitas hidup. Namun sampai negara benar-benar hadir di setiap lapisan masyarakat, sampai akses benar-benar setara, dan sampai kebijakan benar-benar berpihak pada mereka yang tertinggal, lirik itu akan terus relevan:
Mereka yang bilang uang tak bisa menyelesaikan masalah, mungkin memang tak pernah merasakan kecukupan untuk menyelesaikannya.








