Oleh: Cut Habibi (Pemred Jelajah.co)
Aku masih ingat jelas bagaimana layar televisi dan linimasa media sosial beberapa hari terakhir dipenuhi kabar duka dari berbagai daerah. Aksi unjuk rasa yang berakhir ricuh, suara teriakan bercampur ledakan gas air mata, bahkan kabar korban jiwa tak bisa dihindarkan. Suasana itu membuat banyak orang cemas setiap kali mendengar kata “demonstrasi”.
Namun siang ini, ketika aku berdiri di halaman Kantor DPRD Lampung, suasana yang kutemukan berbeda. Ribuan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Lampung Melawan hadir dengan semangat, tetapi tanpa amarah yang membara. Spanduk mereka terbentang, orasi bergema, tetapi tak ada kericuhan. Aku mendapati sebuah pemandangan yang menyejukkan: unjuk rasa bisa berjalan tertib, tanpa gaduh, tanpa luka.
“Unras Lampung tak segaduh Jakarta,” ucap salah seorang teman di sampingku. Kalimat sederhana itu langsung mengingatkanku pada peristiwa ricuh di ibu kota. Tetapi di sini, di tanah Sai Bumi Ruwa Jurai, suara mahasiswa justru melantang dengan damai.
Puncak dari suasana itu terjadi ketika Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal turun langsung ke tengah kerumunan. Ia tidak berdiri di balik barikade aparat, tidak pula bersembunyi di ruang berpendingin udara. Ia duduk di atas rumput bersama mahasiswa, sejajar, tanpa jarak. “Kita jaga bersama Lampung kita,” ucapnya singkat. Hanya lima kata, tapi cukup untuk meredakan sisa-sisa ketegangan.
Namun sesungguhnya, benih kedamaian itu telah ditanam sehari sebelumnya. Aku masih ingat, Gubernur melalui perangkatnya mengajak masyarakat untuk doa bersama di halaman gedung DPRD. Bukan sekadar ritual, doa itu menjadi cara memberi pemahaman bahwa demonstrasi anarkis tak pernah menghadirkan solusi. Ia juga menjadi ruang untuk membangun kedekatan antara pemimpin dan masyarakatnya, sekaligus pesan moral bahwa kebebasan berpendapat hanya bisa terjaga bila dilakukan dengan damai.
Dan benar saja, doa yang diiringi harapan itu berbuah. Esok harinya, mahasiswa datang dengan energi penuh, tapi tanpa niat merusak. Mereka membawa amunisi gagasan, bukan amarah. Ketua BEM Unila, Muhammad Ammar Fauzan, menyuarakan tuntutan dengan lantang namun santun: pengesahan UU Perampasan Aset, reformasi Polri, penolakan efisiensi pendidikan dan kesehatan, hingga ukur ulang HGU PT Sugar Group Company.
Ketua DPRD Lampung Ahmad Giri Akbar ikut duduk bersama, berjanji akan membawa aspirasi itu ke pusat. Pangdam XXI/Radin Inten Mayjen Kristomei Sianturi dan Kapolda Irjen Pol Helmy Santika hadir, tetapi tanpa menebar intimidasi. Yang terlihat hanyalah sebuah ruang dialog yang lahir di tengah lapangan.
Saat matahari makin condong, aku pulang dengan perasaan lega. Di tengah hiruk-pikuk nasional yang diwarnai asap dan luka, Lampung hari ini menunjukkan wajah lain demokrasi: suara rakyat bisa menggema tanpa gaduh, tuntutan bisa disampaikan tanpa bentrokan, dan pejabat bisa mendengar tanpa harus meninggikan kursinya.
Unras Lampung hari ini mengajarkan sesuatu yang sederhana tapi langka: bahwa kedamaian justru membuat aspirasi terdengar lebih nyaring.