Jakarta, Jelajah.co – Di negeri yang menjunjung tinggi pendidikan sebagai tangga peradaban, ada lembar-lembar ijazah yang justru diperlakukan seperti barang gadai. Disimpan, disandera, dan dijadikan alat tekan terhadap mereka yang dulu berseragam kerja, kini hanya bisa berharap pada negara untuk turun tangan.
Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Ansor Lampung, Sarhani, akhirnya membawa persoalan ini ke pusat. Pada Rabu (9/7/2025), ia melayangkan aduan resmi ke Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemenaker RI) terkait praktik penahanan ijazah oleh manajemen Karang Indah Mall (KIM) di Bandar Lampung. Bersama laporan itu, disertakan pula berkas-berkas pendukung dan kronologi yang merentang panjang, dari tahun ke tahun, dari satu mal ke mal lain.
“Kami minta Kemenaker turun langsung ke Lampung. Ini bukan lagi perkara internal perusahaan, ini soal pelanggaran hak dasar manusia yang dibiarkan terlalu lama,” ujar Sarhani dengan suara tegas, namun sorot mata yang menyimpan letih perjuangan.
Menurut Sarhani, praktik penahanan ijazah ini bukan hal baru. Sudah terjadi sejak 2018, dimulai dari Mall Kartini, lalu berlanjut hingga KIM berdiri megah di jantung Kota Bandar Lampung. Berdasarkan data yang dihimpun dari Disnaker Provinsi Lampung, sedikitnya 90 mantan pekerja pernah mengalami penahanan ijazah oleh entitas yang sama.
Pihak KIM sebelumnya mengklaim telah mengembalikan 40 ijazah dan berjanji menyelesaikan sisanya. Namun janji tinggal janji, karena tak ada tenggat pasti, tak ada pula jaminan proses yang terbuka dan adil. Beberapa mantan pekerja bahkan mengaku diminta menandatangani surat pernyataan “tidak menuntut” bila ingin ijazah mereka kembali ke tangan.
Sarhani menilai praktik ini tak sekadar melanggar aturan ketenagakerjaan, melainkan juga mencerminkan feodalisme modern: sistem di mana pekerja dijerat secara halus dan sistematis, dijauhkan dari hak-hak dasar mereka, dan dijadikan pion dalam permainan kuasa.
“Kami tidak akan berhenti sampai negara benar-benar hadir. Kami menolak tunduk pada sistem yang menjadikan manusia hanya angka, dan ijazah hanya sebagai alat tekan,” pungkas Sarhani.
Hari ini, perjuangan itu dibawa ke pusat. Bukan untuk mencari sensasi, tapi untuk mengetuk pintu keadilan yang selama ini tertutup rapat di bawah hingar bingar lampu pusat perbelanjaan. (Red)