Apa yang terjadi di atas hamparan luas lahan milik PT Sugar Group Companies (SGC) di Lampung bukan semata perkara pertanahan. Ini soal ketimpangan struktural yang menahun, pembiaran sistematis oleh negara, dan dominasi korporasi atas ruang hidup masyarakat. Bertahun-tahun masyarakat adat, petani lokal, hingga aktivis agraria bersuara. Namun suara mereka kerap tenggelam oleh kekuasaan modal yang seolah kebal hukum.
Tahun ini, suara itu kembali menggelegar dan kali ini datang dari tiga arah sekaligus: jalanan, parlemen, dan jalur administrasi negara.
Aliansi Tiga LSM: Bukan Sekadar Teriakan
Tiga organisasi masyarakat sipil di Lampung: Aliansi Komunitas Aksi Rakyat (AKAR), Pergerakan Masyarakat Analisis Kebijakan (PEMATANK), dan Koalisi Rakyat Madani (KERAMAT) menyatukan langkah. Mereka hadir bukan untuk mencari sorotan atau kepentingan sesaat, melainkan sebagai pengawal keadilan agraria yang bersandar pada riset, data, dan keberpihakan pada rakyat.
“Ini bukan reaksi emosional. Ini akumulasi kejengahan,” tegas Indra Musta’in, Ketua AKAR, dalam podcast publik Harian Pilar.
Perlawanan terhadap SGC sejatinya telah dirintis sejak 2023, ketika AKAR mengkritisi praktik pembakaran tebu masif yang dilegitimasi oleh kebijakan gubernur Lampung saat itu. Pembakaran yang diklaim sebagai efisiensi panen justru merusak lingkungan, mencemari udara, dan mengancam kesehatan warga. Lebih tragis lagi, praktik ini bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Dari situlah, AKAR, KERAMAT, dan PEMATANK merapatkan barisan. Mereka menyusun strategi bukan hanya melalui aksi jalanan, tetapi juga lewat pengumpulan data (pulbaket), dokumentasi HGU, rekam konflik agraria, hingga dugaan pengemplangan pajak.
Langkah Konkrit ke Senayan
Puncaknya, pada 24 September 2024, DPP AKAR secara resmi mengirim surat ke DPR RI. Isinya mendesak Komisi II agar membahas ulang status lahan HGU PT SGC. Mereka menuntut pengukuran ulang, audit konflik, evaluasi kontribusi perusahaan terhadap negara dan daerah, serta investigasi soal pengemplangan pajak.
Respons DPR tak disangka begitu cepat. Pada 15 Juli 2025, DPP AKAR diundang resmi untuk hadir dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi II DPR RI. Undangan tersebut ditandatangani langsung oleh Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, dengan Nomor B/9637/PW.01/07/2025.
Rapat digelar di Gedung Nusantara, Senayan, dipimpin Wakil Komisi II Dede Yusuf Macan Effendi, dan menghadirkan pihak Kementerian ATR/BPN, Kantor Wilayah BPN Provinsi Lampung, Kantah Tulang Bawang, serta Kantah Lampung Tengah. Hasilnya: pengukuran ulang seluruh areal HGU PT SGC secara resmi direkomendasikan oleh DPR.
Putusan ini disahkan oleh 42 anggota DPR lintas fraksi dan ditandatangani bersama empat Dirjen dari ATR/BPN memberikan kekuatan hukum dan politik yang tak bisa diabaikan.
Rekomendasi Bukan Eksekusi
Namun publik sadar, rekomendasi tak berarti eksekusi. Di negeri ini, tak sedikit keputusan strategis hanya berakhir sebagai tumpukan kertas dalam map pejabat.
Karena itu, AKAR, PEMATANK, dan KERAMAT memberikan tenggat moral dua minggu bagi pemerintah, khususnya ATR/BPN untuk menyusun langkah administratif dan mulai melakukan pengukuran ulang sebagaimana mandat rapat.
“Kalau negara lamban, kami akan kembali ke jalan dengan skala lebih besar,” tegas Indra Musta’in. Bukan ancaman, tapi janji perjuangan.
Menolak Ilusi Korporasi
Narasi bahwa pengukuran ulang akan mengganggu pekerjaan karyawan atau merusak stabilitas perusahaan dinilai sebagai ilusi yang sengaja dihembuskan untuk mengadu rakyat dengan rakyat. Padahal, pengukuran ulang adalah proses hukum, bukan tindakan liar.
“Ini soal penertiban, bukan pengusiran,” kata Indra. “Kami tidak mengganggu aktivitas karyawan. Justru kami ingin memastikan siapa pun yang menguasai tanah, harus tunduk pada hukum, bayar pajak, dan memberikan manfaat bagi masyarakat.”
Mereka menyatakan telah mengantongi peta, dokumen, dan bukti otentik. Jika pemerintah lalai, mereka siap kembali bersuara di DPR, ke ATR/BPN, dan juga turun ke jalan. “Karena di jalan, suara rakyat tidak bisa disensor,” tambahnya.
Bukan Sekadar PT SGC
Kasus ini menjadi simbol dari ketimpangan agraria di Lampung. Tapi perjuangan tak berhenti di SGC. AKAR menegaskan bahwa mereka membuka ruang bagi siapa pun yang ingin mengawal kasus agraria lain, selama prosesnya dilakukan dengan serius, berbasis data, dan untuk kepentingan rakyat.
“Kalau ada aktivis atau elemen lain menemukan pelanggaran serupa di perusahaan lain, silakan. Setiap perjuangan punya ruangnya. Kami akan dukung sejauh berpijak pada kebenaran dan keadilan,” ujar Indra.
Akhirnya, Soal Siapa yang Berdiri di Mana
Perjuangan ini adalah benturan nyata antara rakyat dan oligarki. Bukan simbolik, tapi konkret: siapa menguasai tanah, siapa memanfaatkannya, dan siapa yang dirugikan.
Jika negara memilih diam, sejarah akan mencatat siapa yang berpihak pada rakyat. Dan jika negara tunduk pada uang, maka krisis kepercayaan bukan lagi kemungkinan, melainkan keniscayaan.
Tiga LSM ini mungkin tak punya kekuatan finansial seperti konglomerasi. Tapi mereka punya hal yang tak dimiliki perusahaan: keberanian, tekad, dan legitimasi rakyat. Maka perjuangan ini belum selesai. Belum akan selesai hingga keadilan agraria benar-benar ditegakkan di tanah ini.
Editor: Redaksi Jelajah.co








