Sore itu, matahari di Lampung Tengah mulai condong ke barat. Cahaya jingga menembus celah papan rumah panggung milik Siti Marwah, memantulkan kilau pada benang emas yang terentang di alat tenun. Di sudut ruangan, suara ketak-ketik kayu terdengar ritmis, berpadu dengan tarikan napasnya yang tenang.
“Ini bukan hanya kain, Nak. Ini cerita hidup kami,” ucapnya pelan, sambil menatap motif yang perlahan muncul di hadapannya. Jemarinya bergerak pasti, meski kulitnya telah dipenuhi keriput.
Siti adalah generasi ketiga pengrajin tapis di desanya. Ia mulai belajar menenun sejak berusia 10 tahun, duduk bersila di sebelah ibunya, mengamati gerakan tangan yang begitu cepat memintal benang. “Kalau salah, Ibu saya langsung bongkar. Harus ulang dari awal,” kenangnya. Baginya, tapis adalah bahasa tanpa kata. Setiap garis, setiap pola, menyimpan makna: gunung melambangkan kemegahan, ombak adalah simbol tantangan hidup, dan bunga merepresentasikan keindahan yang harus dirawat.
Masa Depan dari Warisan Lama
Di tengah hiruk pikuk dunia modern, mudah bagi warisan budaya seperti tapis untuk tergeser. Anak-anak muda lebih akrab dengan layar gawai daripada alat tenun. Namun, di sinilah relevansi pernyataan Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik Provinsi Lampung, Ganjar Jationo, menemukan gaungnya.
“Kebudayaan bukanlah bicara soal masa lalu, tapi juga bicara masa depan,” ujar Ganjar.
Ia mencontohkan Jepang, yang puluhan tahun lalu membangun identitas global lewat ramen dan anime, dua hal yang kini menjadi magnet ekonomi dunia. “Artinya budaya bukan hanya bicara masa lalu, tetapi berjalan beriringan sehingga bisa menjadi motor penggerak ekonomi bangsa,” tambahnya.
Ganjar percaya, Lampung memiliki modal yang sama besarnya. “Kalau Jepang bisa mengemas budaya menjadi kekuatan ekonomi, Lampung juga bisa. Kuncinya ada pada kreativitas dan keberanian untuk berinovasi tanpa meninggalkan nilai asli,” ujarnya.
Lampung adalah rumah bagi berbagai kekayaan budaya: kain tapis, falsafah Piil Pesenggiri, tarian Cangget, musik Gamolan Pekhing, hingga festival Sekura di Lampung Barat. Di balik setiap tradisi itu, tersimpan peluang industri kreatif yang belum sepenuhnya tergarap.
Tapis, misalnya. Selama ini ia identik dengan acara adat seperti pernikahan atau begawi. Tapi di tangan yang tepat, tapis bisa menjadi bahan fesyen modern. “Kalau kopi robusta Lampung bisa masuk pasar Eropa, kenapa tapis tidak bisa menembus panggung mode dunia?” kata Ganjar.
Generasi Baru, Cara Baru
Pertanyaan itu dijawab oleh Farhan (27), Ketua Komunitas Lampung Muda Berkarya. Komunitas ini menggabungkan motif tapis dengan desain streetwear. Jaket bomber, tote bag, bahkan sepatu kini berhiaskan pola tradisional Lampung.
Farhan pertama kali bertemu Siti tiga tahun lalu. Ia datang ke rumahnya untuk memesan kain tapis yang akan dijadikan koleksi fesyen. “Awalnya saya kira mereka cuma mau foto-foto. Eh, ternyata motif saya dipakai di Jakarta Fashion Week,” kata Siti sambil tersenyum lebar.
Sejak itu, Siti tak lagi menenun hanya untuk pesanan adat. Ia mulai menerima permintaan untuk produksi terbatas yang dibawa ke pameran dalam dan luar negeri. “Saya senang, karena anak-anak muda mulai kenal tapis bukan cuma dari acara nikahan,” ujarnya.
Namun, inovasi selalu membawa dilema. Bagi sebagian orang tua di desanya, penggunaan tapis untuk fesyen sehari-hari dianggap kurang pantas. “Ada yang bilang, tapis itu sakral. Harus dipakai di acara adat saja,” kata Siti.
Farhan memahami kekhawatiran itu. “Kami tidak mengubah makna asli tapis. Kami justru ingin memperluas pemakaiannya supaya makin banyak yang menghargai,” ujarnya. Ia selalu menyertakan penjelasan makna motif pada setiap produk yang dijual. “Biar pembelinya tahu, mereka tidak cuma beli kain, tapi juga cerita.”
Pemerintah Turut Hadir
Ganjar Jationo melihat fenomena ini sebagai sinyal positif. “Generasi muda adalah kunci. Mereka punya energi dan pemahaman tren global,” katanya.
Kini, Siti punya mimpi baru: menenun tapis untuk ajang mode internasional. “Kalau dulu saya hanya ingin menafkahi anak, sekarang saya ingin tapis dikenal dunia,” ujarnya. Ia membayangkan suatu hari nanti, artis Hollywood atau model Paris mengenakan karyanya.
Mimpinya bukan tanpa alasan. Tahun lalu, satu karyanya dibawa Farhan ke pameran di Singapura. “Banyak yang tanya ini kain dari mana. Mereka kagum karena motifnya rumit sekali,” cerita Farhan.
Menjaga Ruh, Menggapai Cita
Tantangan terbesar tetap sama: menjaga keseimbangan antara nilai luhur dan inovasi. Budaya yang hanya jadi pajangan museum akan dilupakan, tetapi budaya yang dikemas tanpa ruh aslinya akan kehilangan makna.
“Kalau kita bisa memadukan keduanya, budaya akan hidup, berkembang, dan menghidupi,” kata Ganjar.
Bagi Siti, setiap benang yang ia pintal adalah doa. Doa agar anak-anak Lampung kelak tak hanya mengenal tapis dari foto, tapi juga dari tangan mereka sendiri. “Saya ingin mereka tahu rasanya memegang benang emas itu. Beratnya, halusnya, dan bahagianya saat motifnya jadi,” ucapnya sambil menatap kain yang hampir selesai.
Seperti benang emas yang menyatu dalam kain tapis, masa lalu dan masa depan Lampung harus dijahit bersama. Dan selama masih ada tangan seperti Siti yang setia menenun, visi seperti yang diungkap Ganjar Jationo, serta kreativitas generasi muda seperti Farhan, Lampung akan terus bercerita bukan hanya lewat sejarahnya, tapi juga lewat langkahnya menuju panggung dunia. (Aby/*).








