Oleh: Cut Habibi (Pemred Jelajah.co)
Langit Bandarlampung siang itu tidak sekadar mendung oleh awan. Ia kelabu oleh gas air mata, oleh jeritan luka, oleh harapan yang dirampas harga.
Di depan Kantor Gubernur Lampung, ratusan petani singkong berdiri. Bukan untuk berpesta, tapi membawa amarah yang dipendam terlalu lama. Salah satu dari mereka adalah Pak Samin, 56 tahun, petani dari Kecamatan Rumbia.
“Singkong saya tinggal dihargai seribu. Itu pun masih dipotong-potong rafaksi,” ujarnya seraya menahan napas karena sesak gas air mata yang menyesak paru dan hati. Matanya merah bukan hanya karena kabut kimia, tapi karena air mata yang tak kuasa dibendung.
Di pundaknya tergantung tas selempang kulit yang sudah sobek, berisi nasi bungkus dan secarik surat tuntutan. Dalam demo hari itu, mereka membawa pesan: “Kami tak butuh belas kasihan, kami butuh keadilan harga.”
Namun harapan itu justru berbalas kekerasan. Ketika sebagian dari massa berusaha merobohkan pagar kawat berduri, aparat merespons dengan semprotan water cannon dan gas air mata. Batu berterbangan, begitu pula tubuh-tubuh yang terinjak saat massa kocar-kacir.
Sepuluh anggota kepolisian terluka. Satu dilarikan ke rumah sakit karena luka di kepala. Tapi dari pihak petani pun banyak yang tersungkur—bukan hanya oleh gas, tapi oleh rasa putus asa yang perlahan menjelma menjadi sesak hidup.
“Saya punya anak dua. Semua kuliah dari hasil singkong. Tapi kalau begini terus, saya harus pilih: biaya kuliah anak, atau beli pupuk,” kata Bu Rina, seorang petani perempuan dari Lampung Tengah. Tangannya masih gemetar memegang botol air untuk membasuh wajahnya yang perih.
Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, turun menemui massa. Ia mengajak dialog dan menjanjikan pembahasan lebih lanjut. Tapi bagi banyak petani, ini bukan kali pertama janji ditebar di tengah luka yang belum sembuh.
Mereka menuntut pelaksanaan Surat Keputusan Bersama (SKB) Gubernur Lampung yang menetapkan harga standar singkong Rp1.400 per kilogram dengan rafaksi maksimal 15 persen. Tapi hingga kini, janji itu masih di atas kertas. Sementara ladang terus menuntut pupuk, dan anak-anak mereka menanti biaya sekolah.
Aksi hari ini bukan sekadar protes. Ia adalah ratapan panjang dari mereka yang hidup di tanah subur, tapi tak lagi bisa mencicipi hasilnya.
Dan ketika senja turun di Lapangan Korpri, para petani itu kembali melangkah pulang. Langkah mereka berat, tapi keyakinan mereka belum pupus.
“Kami ini petani. Diajari bertahan sejak benih. Tapi jangan salahkan kami kalau nanti kami tumbuh jadi badai,” ujar Pak Samin pelan, sebelum masuk ke dalam truk bak terbuka yang membawanya kembali ke desa—ke ladang singkong, dan ke kenyataan pahit yang belum berubah.








