Lampung Timur, Jelajah.co – Kasus dugaan salah tangkap terhadap M. Umar terus menjadi sorotan publik di Lampung Timur. Pria yang kini ditahan di Rutan Sukadana itu disebut menjadi korban ketidakberesan proses hukum sejak tahap penyelidikan hingga dakwaan.
Ketua Sekretariat Bersama Wartawan Indonesia (SWI) Provinsi Lampung, Melanni, menyebut ada kejanggalan serius dalam proses hukum M. Umar. Berdasarkan hasil investigasi dan pantauan langsung dalam persidangan, ia menuding adanya kesalahan fatal oleh 12 oknum penyidik di Polres Lampung Timur.
“Bukti-bukti yang ada seharusnya cukup menggugurkan dakwaan terhadap M. Umar, tapi kenapa proses hukum terus berlanjut? Ini pertanyaan besar yang harus dijawab,” ujar Melanni usai mengikuti persidangan, Senin (10/06/25).
Tak hanya proses penyidikan, pihak kejaksaan juga disorot. SWI menilai pembatalan eksepsi oleh pengadilan terjadi akibat kelalaian jaksa saat menerima pelimpahan berkas tahap dua (P-21), yang membuka celah perkara tetap dilimpahkan ke pengadilan tanpa evaluasi mendalam.
Melanni menyatakan, pihaknya akan membentuk tim investigasi dan pemberitaan untuk terus mengawal kasus tersebut. Ia menegaskan, “Kami akan memastikan kasus ini dibawa sampai tuntas.”
Langkah hukum juga tengah disiapkan tim pengacara M. Umar yang diketuai Moch. Ansory. Dengan surat kuasa yang telah diterima, tim berencana melaporkan kasus ini ke Polda Lampung dan akan menempuh jalur lebih tinggi ke Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di Jakarta.
“Kami akan menggunakan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Ini bukan semata soal hukum biasa, tapi menyangkut pelanggaran HAM terhadap klien kami,” ujar Moch. Ansory, yang juga Ketua Umum Yayasan AMPERA MALANG/YAPERMA.
Kuasa hukum menilai dakwaan cacat hukum, salah satunya karena perbedaan identitas. Dalam dakwaan, tertulis nama “Muhammad Umar bin Abu Tholib”, sedangkan identitas resmi klien hanya menyebut “M. Umar”. Perbedaan ini dianggap cukup kuat untuk membatalkan seluruh proses hukum.
Dalam sistem hukum Indonesia, perlindungan terhadap warga yang salah tangkap atau salah dakwa dijamin oleh dua regulasi utama: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Pasal 9 UU HAM menyebutkan bahwa setiap orang yang ditangkap atau diadili tanpa dasar sah berhak menuntut ganti rugi dan rehabilitasi. Bahkan, jika terdapat unsur kesengajaan dari aparat, pelakunya dapat dijerat pidana.
Kasus ini menjadi momentum penting untuk mengevaluasi prosedur hukum yang berlaku di Indonesia. Proses hukum yang diduga tidak adil ini diharapkan membuka mata publik dan aparat bahwa keadilan harus ditegakkan secara transparan dan objektif.
M. Umar kini tengah berjuang untuk mendapatkan keadilan. Perjalanan kasus ini akan menjadi cermin: sejauh mana penegak hukum di Indonesia mampu menjamin hak warga negaranya, tanpa cela dalam prosedur. (Red)








