Oleh: Cut Habibi
Tantiem, kata yang baru saja viral setelah pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto tiba-tiba menjadi sorotan publik. Kata ini terdengar asing di telinga banyak orang, namun ternyata menyimpan makna besar: dana fantastis yang bisa diperoleh komisaris hanya karena tantiem.
Melihat cara Presiden Prabowo mengucapkan kata itu, penuh ketegasan dan emosional, seolah-olah ia merasa tertipu oleh kecohan tantiem ini. Tatapan serius dan intonasi tegasnya memberi kesan bahwa tidak hanya publik yang harus menyadari besarnya dana yang terbuang, tapi bahkan Presiden sendiri terkaget-kaget melihat praktik ini berjalan lama di tubuh BUMN.
Di gedung-gedung megah BUMN, rapat seringkali dipenuhi simbol dan seremonial. Namun beberapa kursi komisaris tetap kosong hampir sepanjang bulan. Layaknya tikus yang mengendap-endap di gudang, mereka tetap menikmati fasilitas dan penghasilan fantastis tanpa memberikan kontribusi nyata. “Masa ada komisaris yang rapat sebulan sekali, tantiemnya Rp 40 miliar setahun,” kata Prabowo.
Tantiem sendiri diatur dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-3/MBU/03/2023. Hanya direksi dan komisaris yang menunjukkan kinerja nyata, perusahaan membukukan laba, audit berstatus Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), dan KPI minimal 80 persen yang layak menerima penghargaan ini. Namun fakta di lapangan menunjukkan sebagian komisaris masih menikmati tantiem tinggi tanpa kontribusi yang sepadan.
Penghapusan tantiem bagi dewan komisaris diprediksi menghemat BUMN hingga Rp 8 triliun per tahun. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan dana yang bisa dialihkan untuk kepentingan publik: pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, pendidikan, hingga penguatan UMKM. Kebijakan ini bukan sekadar penghematan; ia adalah teguran keras terhadap kultur kerja yang malas dan menikmati fasilitas tanpa prestasi.
Dalam pidatonya, ketegasan Prabowo menghadirkan pesan moral yang jelas: tidak ada tempat bagi pejabat “manis” yang duduk dan menikmati tanpa bekerja. Kata tantiem yang diucapkan dengan nada emosional menjadi simbol dari ketidakadilan dan ketidakprofesionalan yang harus diberantas.
Langkah Presiden Prabowo adalah wake-up call bagi seluruh pejabat BUMN dan BUMD di seluruh Indonesia: kontribusi nyata harus sebanding dengan penghargaan yang diterima. Bagi publik, ini adalah bukti bahwa transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi bukan jargon belaka, melainkan prinsip yang harus ditegakkan agar setiap rupiah uang rakyat digunakan sesuai tujuan, bukan dimakan tikus-tikus di balik gedung megah.
(Red)