Tulang Bawang, Jelajah.co – Di tepi rawa yang sunyi di Kampung Bakung Ilir, Kecamatan Gedung Meneng, semangat warga memuncak. Dukungan mereka tertuju penuh pada gerakan Aliansi Tiga LSM Lampung, yakni Aliansi Komando Aksi Rakyat (AKAR), Koalisi Rakyat Madani (KERAMAT), dan Pergerakan Masyarakat Analisis Kebijakan (PEMATANK), yang kini berada di tahap krusial menjelang pengukuran ulang lahan PT Sugar Group Companies (SGC) oleh Kementerian ATR/BPN.
Bagi warga, perjuangan ini bukan sekadar menanti keputusan di meja birokrasi. Mereka siap turun langsung bersama para aktivis untuk memastikan seluruh lahan di bawah naungan PT SGC masuk dalam proses ukur ulang. Bahkan, ketika aksi massa dijadwalkan pada 25–27 Agustus 2025 di Istana Negara dan Kantor ATR/BPN Jakarta, warga Bakung Ilir sudah bertekad untuk ikut hadir.
“Kami akan berangkat bersama, berjuang bersama. Ini bukan hanya soal lahan, tapi soal kedaulatan rakyat,” tegas Aan Friska, Ketua Pemuda Bakung Ilir Bersatu, Jumat (15/08/25).
Aan mengungkapkan, sengketa lahan ini menyangkut tanah adat yang selama ini tidak pernah dibebaskan oleh pihak PT SIL, namun belakangan masuk ke dalam kawasan PT SGC. Ironisnya, lahan tersebut tidak digarap perusahaan, sementara setiap upaya warga untuk mengolahnya selalu dihalangi pihak keamanan perusahaan.
“Kami sudah bikin gubuk, mulai mengolah lahan, tapi dihalangi. Sekarang malah dibuat kanal sedalam 10 meter untuk memutus akses masyarakat,” ujarnya.
Keluhan warga telah disampaikan kepada Bupati Tulang Bawang dan Kantor ATR/BPN setempat. Menurut rencana, ATR/BPN bersama Bupati akan turun langsung mengecek lokasi pada Senin, 18 Agustus 2025.
“ATR/BPN dan Bupati akan meninjau lokasi untuk melihat pembuktian, apakah benar lahan itu di luar HGU,” jelas Aan.
Ketua LSM Akar Lampung, Indra Mustain, yang mewakili Aliansi Tiga LSM Lampung, mengapresiasi keteguhan warga Bakung Ilir.
“Jangan pernah berhenti menegakkan kebenaran. Ukur ulang ini harga mati demi keadilan rakyat dan kedaulatan negeri,” tegasnya.
Bagi warga Bakung Ilir, konflik ini bukan sekadar sengketa batas tanah, melainkan perebutan hak hidup dan kedaulatan adat. Mereka menegaskan bahwa rawa dan lahan adat harus dikembalikan ke pemilik aslinya, bukan hanya menjadi titik di peta konsesi perusahaan.
“Kami sudah terlalu lama dizolimi. Sekarang waktunya rakyat berdiri,” pungkas Aan. (Red)








