Oleh: Ketua Bidang Advokasi, HAM, dan Lingkungan Hidup PMII Bandar Lampung, Dicko Kurniawan
Bandarlampung, Jelajah.co – Banjir bandang yang melanda Bandar Lampung bukan hanya bencana alam, tetapi juga potret kegagalan kepemimpinan di tingkat daerah. Di tengah penderitaan rakyat, para pejabat justru sibuk melempar tanggung jawab, seakan berlomba mencari kambing hitam.
Sebagai ibu kota provinsi, Bandar Lampung menjadi saksi ketidakmampuan pemerintah daerah dalam merespons krisis ini. Penjabat (Pj) Gubernur Lampung, Samsudin, terlihat absen dari percakapan publik. DPRD Provinsi Lampung pun ikut bungkam. Sementara itu, Walikota Eva Dwiana, meskipun memikul tanggung jawab besar, terlihat kewalahan menyelesaikan persoalan ini sendirian.
Bencana ini mencerminkan kegagalan kolektif yang lahir dari budaya politik saling menyalahkan. Penjabat gubernur dan DPRD seakan nyaman membiarkan persoalan banjir hanya dianggap urusan kota. Padahal, buruknya tata kelola lingkungan di Lampung adalah akumulasi dari kebijakan yang tidak berpihak pada pelestarian lingkungan.
Ketika masyarakat membutuhkan solusi nyata, yang muncul hanyalah sikap abai dan retorika kosong. Tidak ada langkah konkret untuk memperbaiki infrastruktur, memperkuat mitigasi bencana, atau bahkan sekadar menenangkan warga dengan kebijakan strategis. Gubernur dan DPRD, yang seharusnya memimpin koordinasi, lebih memilih menjadi penonton dalam drama ini.
Di sisi lain, tanggung jawab Walikota Eva Dwiana juga tidak bisa diabaikan. Sebagai pemimpin kota, ia harus bertindak tegas terhadap permasalahan tata ruang, pengelolaan sampah, dan drainase. Program-program yang hanya sekadar janji harus segera diwujudkan. Jika tidak, banjir akan menjadi “tradisi” tahunan bagi warga Bandar Lampung.
Namun, pola yang berulang tetap sama: rakyat menderita, pejabat cuci tangan. Banjir ini harus menjadi momen evaluasi besar-besaran, bukan hanya peristiwa yang berlalu dengan janji tanpa bukti. Bandar Lampung membutuhkan pemimpin yang berani mengambil tanggung jawab, bukan yang sibuk mencari aman.
Warga Lampung sudah cukup lama menanggung beban akibat ketidakbecusan para pejabatnya. Jika tidak ada perubahan dalam cara pemerintah daerah menangani masalah ini, banjir bukan lagi sekadar bencana alam, melainkan simbol kegagalan kolektif kepemimpinan di Lampung. (Red)