Oleh: Edy Sudrajat
Di kampung-kampung penghasil singkong, petani menanam dengan harapan sederhana: hidup dari hasil kerja keras mereka. Mereka menanam dengan tangan kotor, menyirami tanaman dengan doa, dan mengolah tanah dengan cinta. Tidak banyak yang mereka minta. Mereka hanya ingin harga yang adil, pasar yang stabil, dan negara yang berdiri di samping mereka—bukan menjauhkan diri, apalagi berpihak pada kepentingan asing.
Namun, ketika Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan membuka keran impor tepung singkong dan ubi dari luar negeri, harapan itu seakan terhempas. Para petani yang selama ini mengandalkan singkong sebagai mata pencaharian merasa dikhianati. Harga singkong yang merosot tajam, tengkulak yang menawar dengan harga tak manusiawi, dan biaya tanam yang semakin membengkak membuat mereka seakan berjuang sia-sia. Tanah yang seharusnya memberi kehidupan malah menjadi beban.
Zulhas mengemukakan alasan bahwa kebijakan impor ini demi menjaga stabilitas harga dan memenuhi kebutuhan industri. Tapi apakah benar kebijakan ini berpihak pada petani? Ataukah yang diuntungkan adalah segelintir pemain besar yang bisa mengatur pasokan dan harga dari balik meja? Para petani kecil—orang-orang yang setiap hari membanting tulang di ladang—justru terjepit, tak mampu bersaing dengan harga impor yang lebih murah.
Petani singkong bukan mencari belas kasihan. Mereka hanya meminta keadilan. Mereka hanya ingin hasil kerja kerasnya dihargai dengan harga yang pantas. Mereka ingin tanah mereka tetap berdaya, bukan tergilas oleh kebijakan yang tak berpihak pada mereka. Namun, kebijakan yang diambil jauh dari suara mereka—dari kepedulian mereka yang sejati, yang bertumbuh di tengah keringat dan tanah yang penuh debu.
Jika keputusan dibuat dari ruang ber-AC yang jauh dari lumpur ladang, maka pengkhianatan ini akan terus berlanjut. Selama kebijakan dibuat tanpa mendengar jeritan hati para petani, maka selama itu pula perjuangan mereka akan sia-sia. Mereka hanya ingin satu hal: sebuah keadilan, agar hidup mereka tidak lagi tergantung pada ketidakpastian dan kebijakan yang bukan untuk mereka.
Kegelisahan petani singkong dengan harga tak pasti dan jelas di beli oleh pabrik, Gubernur Lampung telah melayangkan surat ke MenKo Pangan sebagai bentuk advokasi bagi petani agar harga singkong tidak murah.
Tanda tanda bahwa kebijakan pemerintah dalam hal ini MenKo Pangan Pak Zulhas masih santai dan dingin dingin saja seakan mempertegas bahwa petani singkong bukanlah sesuatu yang penting dalam mewujudkan swasembada pangan!








